Sunday 8 March 2015

Leaving, Moving

The hardest part in life: leaving.

Saya tidak tahu sejak kapan saya tidak begitu menyukai kata 'pergi'. Lama kelamaan, ketika umur saya semakin bertambah, saya semakin menyadari betapa beratnya untuk pergi. Ada rasa berat yang disertai rasa menyesal dan ketidaknyamanan saat saya memutuskan untuk pergi, walau hanya sekedar naik gunung. Anehnya, rasa negatif itu selalu muncul di awal langhkah saya untuk pergi. Walaupun pergi hanya sehari. 
Campuran rasa itu kemudian saya simpulkan menjadi rasa berat hati yang menakutkan. Saya sangat tidak suka bila rasa itu muncul lagi, tapi apa boleh buat, di sisi lain saya sangat membutuhkan 'pergi'.

Pergi meninggalkan kampung halaman untuk mencari ilmu di sini juga pernah menjadi bagian terberat. Rasanya logika telah menerima dan menyusun dengan cantik apa-apa yang seharusnya dipersiapkan untuk pergi dan meninggalkan segala kenyamanan di sana. Tapi di dalam kereta, rasa itu selalu muncul walau hanya 2 sampai 5 menit dan itu adalah 5 menit paling mengganggu karena mampu mendominasi segala macam perasaan yang seharusnya bisa saya kontrol. 5 menit paling saya benci. Itulah mengapa saya jarang pulang, bukan karena saya tak ingin, tetapi ketika saya pulang perasaan paling saya benci akan muncul lagi dua kali: dalam kereta menuju Kebumen dan kereta menuju Depok. 

Setiap saya naik gunung atau berlibur pun akan selalu seperti itu, 5 menit pertama paling menakutkan selalu datang lagi. Awalnya saya pikir dengan menelpon kedua orang tua perasaan itu akan hilang, tapi tidak, justru durasi ketakutannya semakin diperpanjang, dan itu lebih menyiksa. Maka dari itu, bila saya ingin pergi ke gunung misalnya, saya harus menghubungi kedua orang tua satu bulan sebelum dan ketika hari H, saya tidak perlu menlepon, hanya memberi kabar lewat sms atau BBM bapak.

Jangankan pergi berlibur atau naik gunung, hanya pergi rapat tertutup organisasi di Tangerang pun rasa paling menyebalkan itu muncul selalu dan selalu. Hingga membuat saya menyerah dan berpasrah bila rasa itu muncul. Saya tidak dapat menghindari itu karena tidak mungkin bagi saya untuk tidak pergi. Bagi saya, menetap adalah anugrah. Tetapi berpergian adalah anugrah yang lain. Pada akhirnya, hanya interaksi saya dengan Tuhan yang mampu meredam sedikit demi sedikit perasaan itu. Caranya dengan berdoa. Maka dari itu, saya tidak pdapat membayangkan apabila saya tidak berTuhan. Mungkin saya tidak dapat pergi.

Bagi yang tak memiliki ketakutan seperti itu, mungkin akan merasa bahwa apa yang saya ceritakan hanya ilusi. Silakan, itu hak Anda untuk menilai. Namun saya akan tetap melanjutkan cerita ini.

Bulan depan saya harus pergi lagi. Lebih tepatnya kepergian 3 kali: kembali ke Kebumen, naik gunung, pindah. Itu artinya akan ada minimal 6 perasaan tidak nyaman yang akan menghampiri. Membayangkan saja sudah membuat saya tidak nyaman. Ah, sulit. Apalagi kepergian yang terakhir: pindah. Saya belum pernah melakukan itu sebelumnya. Tantangan baru untuk saya. Padahal hanya sekedar pindah tempat kos meninggalkan kenyamanan yang saya dapatkan ketika di asrma UI, kenyamanan dikelilingi teman-teman satu daerah dan kenyamanan finansial yang semua serba murah. Tapi bagaimana lagi, saya memang butuh untuk pindah dan pergi. 

The hardest part in life is leaving. I know. If I can tell you the reason, it is because I hate being left. Saya takut ditinggalkan. It was enough for me when my daddy left me and my mom in the war of Gerakan Aceh Merdeka. It was enough. Even my dad came back, it still gives me pain and scar of being left. 

Anehnya, ketika saya takut untuk ditinggalkan, saya malah memilih untuk banyak berpergian padahal kematian pasti akan datang, entah saya yang akan ditinggal terlebih dahulu, atau saya yang akan meninggalkan. 

But still, leaving is the hardest part.


Read More