Sunday 16 October 2016

The Definition of Home

Do you know why you call 'home' home?
Is it because of the people inside?
Or the weather outside?
Is it because of the window?
or the door you opened usually?
Is it because of the town you were born?
Or your memory landed?
Is it because of the warm you feel?
Or the cold you catch?

Can you tell me why?
Because I wanna build the home you miss to come.


Read More

Tuesday 11 October 2016

The Love.

Almost 20 and I still regret for not studying that hard. Yes, 'that hard'. It refers to those who study by their passion so they almost forget when morning suddenly comes. They study because they crave for the knowledge they will gain.

I left my physics, chems, bios for the sake of my passion I thought; Psychology. So, the consequence? I have to study with passionate love inside, with the goal of craving knowledge.

It is the second day of midterm, more to go.
It is the fifth term of eighth, some to go.
The-Strike-As moment, please come to mama.

Well,

Read More

Sunday 9 October 2016

Tentang Kapal, Dermaga, dan Hati yang Patah

"Aku sudah beri tahu kamu, Nak. Kapal itu tidak akan berlabuh di dermaga ini."

Tapi kemarin angin bilang padaku, katanya kapal itu akan merapat. Sungguh. Aku merasakannya. Sangat dekat. Sangat dekat. Aku bisa melihatnya hampir merapat.

Dia hanya lewat. Tapi dia sudah merencanakan di dermaga mana dia akan merapat. Dia sudah merencanakan kapan dia akan merapat.

Dia...sudah memilih dermaga yang tepat?

Dan kamu harus bersiap, bila waktu itu datang, saat kapal  itu merapat pada dermaga pilihannya. Maka kamu harus...

foto dari sini
Apa yang harus aku siapkan? Kapal lain merapat pada ku? Pada dermaga ini?

Bukan. Tapi kamu harus sadar, tidak hanya ada satu dermaga pada samudra yang luas. Dan dermaga satu akan berganti dengan dermaga lain. Kamu memiliki batas waktu.

Batas waktu? Batas waktu untuk menunggu kapal idaman merapat?

Bukan, tetapi batas waktu hidupmu sebagai dermaga. Ketahuilah, bila Tuhan menciptakan kapal, dermaga, samudra, dan cinta di antaranya dengan begitu sempurna. Jangan membuatnya menjadi sempit.

 dermaga hanya diam

bila kamu jadi dermaga yang menjadi hidup bagi manusia di sekitarmu dan kamu letakkan cintamu tepat di situ, ya di situ,  maka mengapa masih menunggu kapal idamanmu merapat?

Kenapa tidak?

Karena Tuhan, sesungguhnya, akan meniupkan angin untuk mengantarkan sebuah kapal, yang didorong oleh  ombak, yang akan merapat pada dermaga ini, padamu.


Maka, dermaga dan samudra, saat itu, saling memilin doa terbaik, memilin dengan baik, Agar tidak terbalik.

---

Li, not the expectation is wrong. That  how you set your expectation is wrong. 
Life is a lot of love. Then, you choose what love you wanna live in.

--- 

Jakarta, 10-10-2016
21 hari sebelum 20 tahun.
Tuhan selalu tidak bosan memberi saya pelajaran untuk lebih dewasa dan bijak dalam melihat dunia.
Maka, hanya kepada-Mu, segala harapan bermula dan berujung.

gamabar dari sini










Read More

Wednesday 24 August 2016

Meja Tenis Meja Tempat Kami Mengeja: Gambaran Pendidikan Di Sebuah Desa Di Jawa


"...saya merasa bahwa sebangga-bangganya guru kepada anak didiknya adalah ketika mereka tetap semangat belajar dengan kondisi apapun dan mengeja di atas (m)eja manapun."

Selamat Datang Di Maribaya

sambutan selamat datang dari anak-anak Maribaya


Tujuh bulan setelah Januari saya kembali ke sebuah dukuh (bagian yang lebih kecil dari desa) di daerah Tegal bagian selatan, dukuh Maribaya. Banyak yang berubah, tentu saja. Banyak yang bertambah, seperti jumlah bayi yang baru lahir, ibu yang hamil, pasangan suami istri, beberapa rumah yang didirikan, serta bertambahnya cerita sedih bahagia yang disimpan warganya.

Maribaya selalu menyimpan ceritanya sendiri. Maribaya selalu menggerakan reaksi ketidaksetujuan saya pada beberapa hal yang diambil oleh satu dua warganya seperti tidak melanjutkan sekolah ke SMP atau sederajat (yang biayanya masih ditanggung pemerintah alias gratis) melainkan memilih menjadi penjual nasi goreng di luar kota tepat setelah lulus SD (saya tidak mempermasalahkan apa pekerjaan yang dia ambil, melainkan waktunya. Bagi saya, setelah lulus SD bukan merupakan jawaban yang tepat. Tapi katanya, dia sudah terlanjur takut dan trauma dengan sekolah). Maribaya juga menggerakan kesetujuan serta kebahagiaan saya atas berkembangnya banyak hal baik seperti beberapa anak yang mulai memberanikan diri melanjutkan sekolah ke SMP terbaik di kecamatannya, serta orang tua yang mulai menyesali menikahkan anak perempuannya di usia 14 tahun (saat dia sedang asik-asiknya bermain bersama buku dan pena yang dia idam-idamkan di SMPnya).

Kabar Sekolahku Baik-Baik Saja

Di balik itu semua, saya ingin menceritakan tentang satu hal yang sangat menarik perhatian saya.

Di dukuh Maribaya terdapat satu sekolah dasar, yaitu SD Negeri 2 Rembul. Jarak antara sekolah dan rumah warga lumayan jauh. SD dikelilingi ladang dan persawahan yang sangat luas dan berhadapan dengan jalan alternatif antar kota yang tergolong sepi. Tidak ada bangunan lain selain SD tersebut, sejauh mata memandang, hanya ada hijaunya ladang dan suara kendaraan yang kadang berlalu-lalang.

pulang sekolah


Bulan Januari lalu (ketika saya menjadi volunteer untuk team teaching di kelas 1), pihak sekolah memutuskan untuk memisahkan atau membagi dua sekolah tersebut. Kelas 1 dan 2 berada di lingkungan rumah warga dengan tujuan untuk menarik anak-anak agar bersekolah karena untuk datang ke sekolah tidak perlu berjalan jauh, serta untuk alasan keamanan. Sedangkan kelas 3-6 tetap berada pada bangunan lama karena dianggap sudah cukup umur untuk berangkat ke sekolah dengan jarak yang lumayan. Jangan bayangkan kelas 1 dan 2 berada pada bangunan baru yang sekolah buat di tengah perkampungan warga. Nyatanya, kelas 1 dan 2 hanya menumpang pada bangunan kecil tempat anak-anak di Maribaya belajar mengaji (TPQ atau madrasah). Walau begitu, letak bangunan yang masih berada di lingkup perkampungan warga memberikan kesan keamanan tersendiri bagi anak-anak.

kalau lelah berjalan kaki, anak-anak menggunakan kendaraan yang disembut 'ompreng' untuk pulang atau berangkat sekolah

Selama Januari saya berada di sana dan tanggal 18 Agustus kemarin, saya beserta tim dari Gerakan Universitas Indonesia Mengajar, kembali ke Maribaya. Ada yang kurang ketika kami memasuki dukuh tersebut; tidak ada suara anak kelas 1 dan 2 belajar membaca atau bahkan tertawa. Saya datangi bangunan kecil tersebut dan yang tersisa hanya bangunan kosong dengan tumpukan pasir di depannya. Kemana mereka?

Usut punya usut, kelas 1 dan 2 ternyata dipindahkan di sekolah lama bersama kelas 3 hingga 6, ibaratnya kembali berkumpul bersama keluarga. Ketika saya tanya alasannya, tidak bertambahnya jumlah murid merupakan jawaban atas pemindahan tersebut. Hanya ada tujuh peserta didik baru yang mendaftarkan diri di kelas 1 dan itu berarti pemindahan kelas 1 dan 2 menjadi lebih dekat tidak memberikan dampak apapun. Saya agak menyayangkan hal tersebut, sayang sekali mereka harus menempuh jarak yang jauh untuk pergi ke sekolah. Namun di sisi lain, saya sangat bahagia karena akhirnya mereka bisa berkumpul di sekolah asli mereka dan mencicipi indahnya lapangan yang ada di sekolah dengan kelas yang agak lebih lebar dibandingkan bangunan yang lalu, sehingga mereka dapat ikut upacara dan berolah raga di lapangan mereka sendiri.

lapangan SD N 2 Rembul


Kelas 'Baru', Meja 'Baru'

Saya bergegas menuju ruang kelas 1. Dari jarak beberapa meter sudah terdengar suara anak-anak mengeja huruf dan suara seorang ibu guru yang sabar membantu menyebutkan huruf. Semakin mendekat, saya melihat mereka duduk berkeliling di satu meja besar.
"Wah, sangat menyenangkan duduk berkeliling ketika sedang belajar di kelas, itu memberikan kesan lebih hangat dan rileks dibandingkan ketika duduk dengan posisi formal pada sekolah umumnya," pikir saya.

Ketika saya mengarahkan mata saya pada meja besar  yang mereka gunakan, ternyata itu bukan meja belajar, meja berwarna biru yang mereka gunakan adalah meja untuk tenis meja. Ya, itu meja tenis meja yang berubah menjadi meja belajar. Dalam keadaan seperti ini, rasanya apapun memang bisa digunakan untuk belajar.



Entah karena mereka masih kelas satu, atau memang karena mereka nyaman dengan meja itu, tidak ada kata protes yang diucapkan oleh mereka. Proses belajar mengajar tetap berjalan sebagai mana mestinya. Mereka tetap bersemangat untuk belajar mengeja bagaimana pun bentuk mejanya karena akan selalu ada kata eja di setiap (m)eja yang mereka pakai.


Saya hanya pernah menjadi 'guru kelas satu' selama satu bulan dan masih sanagat perlu belajar, belajar, dan belajar. Dalam kasus ini, saya merasa bahwa sebangga-bangganya guru kepada anak didiknya adalah ketika mereka tetap semangat belajar dengan kondisi apapun dan mengeja di atas (m)eja manapun.


Jakarta, 24 Agustus 2016


Bu Uli Yang Ingin Melihat Kalian Tumbuh







Read More

Friday 1 July 2016

Tentang Menuju 20 Tahun: Sebuah Drama, Tenang, Bukan Drama Saya

Selama 19 tahun lebih 8 bulan, saya, sampai saat ini, belum pernah 'membuat drama' dalam hidup saya. Alasannya adalah sesimpel saya tidak menyukai drama, apalagi hingga membawa orang kedua, ketiga, dan seterusnya. Salah. Ternyata saya pernah membuat drama. Drama terakhir yang saya tekuni adalah drama di atas panggung, sebutlah teater. Drama di atas panggung, yang sesungguhnya merupakan bagian dari hidup saya, namun bukan merupakan drama hidup saya.  Itu pun, terakhir, ketika saya duduk di kelas dua SMA, empat tahun lalu dengan tujuan sesimpel rasa bahagia bisa bermain peran dan sekompleks mendapat juara dan membawa pulang hadiah (ha-ha-ha), dan saya putuskan untuk tidak menekuninya lagi. Tidak lagi. 

Drama untuk definisi lain? Drama yang biasa menggantikan frasa drama korea? Saya tutup buku di kelas tiga SMA, hampir tiga tahun lalu. Alasannya sama, saya tidak menyukai drama. Untuk hal ini mungkin alasan kompleksnya lebih ke sisi psikologis; saya tidak ingin membebani hidup saya dengan perasaan yang terbawa ketika menonton drama korea karena hal itu memicu drama-drama hidup selanjutnya. DOTS, drama korea yang sedang hits saat ini? Well, wacana saja untuk menontonnya, hingga saat ini. But who knows tomorrow

Drama yang saya kenal dan lebih dekat mungkin tertera pada buku dan novel yang pernah saya baca. Itupun, yang saya rasakahan, sedang ada transformasi kata ‘novel bagus’ dari novel drama ke novel yang hmm membutuhkan proses berpikir untuk mencerna alur dan kata-katanya. (Tapi saya masih membaca novel bergenre agak drama, asal rating penulisnya bagus atau penulisnya adalah penulis favorit saya, bukunya hits, mendapat rekomendasi dari orang lain, atau baca resensinya menarik wkwkwk).

Saya tidak akan bilang bahwa drama adalah sesuatu yang buruk. Justru terkadang, drama akan memanusiakan manusia, tentu pada porsi dan waktu tertentu. Bahkan, tulisan ini sesungguhnya akan membawa kalian ke sebuah drama yang terjadi di dekat kita dan pada kehidupan yang sebenarnya. Maka, netralkan lah pikiran dari segala subjektivitas tentang drama.

Berikut, akan saya tuliskan dua link tulisan di dua blog orang yang berbeda, tentang hidup seorang wanita (yang tidak saya kenal) yang memasuki usia 20 tahunnya. Tulisan pertama akan terasa sangat amat panjang tapi saya mohon jangan berhenti atau melewati beberapa bagian. It matters. Begitu pula dengan tulisan kedua. Selamat membaca! Siapa tahu ada sesuatu yang berubah ketika kamu membacanya. Who knows tomorrow.


Tulisan kedua (balasan tulisan pertama, sudut pandang pria) -> http://danyrizky.tumblr.com/post/144734884857/selamat-dewasa

Happy reading with the open mind...

Pict from here

Read More

Monday 30 May 2016

Tulisan Untuk Mu

Untuk yang sedang berjuang, Tuhan bersama kalian.

Jangan tanya pada saya apa arti berjuang. Jangan sekarang. Karena saya belum mengerti sepenuhnya arti berjuang yang kalian mau serta doa yang kalian ingin. Namun saya akan tetap memberi aamiin di akhir doa yang kalian ingin karena saya tahu kalian ingin. Tapi sekali lagi, jangan paksa saya untuk menerangkan bagaimana rasanya berjuang melawan rasa takut kalian sendiri atau rasa lain yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah.

Empat puluh enam hari saya menjadi pengamat dari rumah perjuangan mungil itu, saya melihat banyak orang berjuang. Berjuang untuk mewujudkan doa yang selalu diakhiri kata aamiin di belakangnya serta doa yang didengungkan setelah ibadah atau lewat telepon kepada orang-orang signifikan jauh di sana setelah lewat jam sebelas malam. Saya melihat beberapa kalian menahan kantuk yang amat sedang saya hanya melihat. Saya melihat kalian menggantungkan mimpi-mimpi pada atap rumah itu sedang mimpi kalian melebihi. Saya melihat kalian berjuang atas perjuangan masing-masing dengan mimpi masing-masing yang dikemas dalam doa masing-masing. Saya melihat dan menggumamkan aamiin di belakang.

Dik, kalian telah menggunakan empat puluh enam waktu dari Tuhan dengan baik, maka gunakan lah waktu ke empat puluh tujuh seperti kalian tidak akan pernah mendapatkannya lagi. Berbahagia lah di hari ke empat puluh tujuh kalian, berpesta lah dengan pensil yang akan kalian gunakan. Tenang, tetap tenang, jangan ragu, jangan khawatir. Kalian tidak akan pernah sendiri, tidak----akan----pernah. Dalam soal-soal yang akan kalian taklukan dan strategi yang kalian inginkan, ada doa ibu, doa bapak, doa teman seperjuangan, doa kakak, doa adik, doa guru, doa orang-orang yang menyayangimu, doa orang yang telah kamu tolong, dan mungkin saja ada sedikit kata aamiin yang pernah saya sisipkan di belakang doa kalian. Dik, percayalah, ada tangan Tuhan di situ. Kalian tidak perlu ragu. Semoga.

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS An-Najm[53]:39)




Read More

Sunday 3 April 2016

#BantuPakBagyo Memandirikan Orang Gangguan Jiwa

Taukah Anda bahwa sebagian besar orang dengan gangguan jiwa berat (skizofrenia) di Indonesia masih hidup terpasung dan tidak mendapatkan pemberdayaan yang baik?

Di  Bantur, Malang, Jawa Timur, pemasungan orang dengan gangguan jiwa berat (skizofrenia) juga masih terjadi. Hal itulah yang menggerakan  seorang perawat bernama Pak Soebagijono  untuk membebaskan orang dengan gangguan jiwa berat (skizofrenia) dari pasungan dan memberdayakan mereka.

Untuk memberdayakan dan melatih orang dengan gangguan jiwa yang sudah mulai kooperatif, Pak Soebagijono melihat potensi yang bisa digali dari desa tersebut, yaitu banyaknya sabut kelapa yang belum diberdayagunakan. Padahal, luas lahan yang ditanami pohon kelapa di desa tersebut mencapai 26,8 H! Ditambah lagi terdapat sekitar 35 orang dengan gangguan jiwa (pasien Pak Soebagijono) yang sudah mulai kooperatif.

 Dua hal itu yang mendorong beliau memberdayakan dan memberikan kegiatan bagi orang dengan gangguan jiwa yang sudah mulai kooperatif dengan cara membuat kerajinan kreatif seperti keset, sapu lidi, dan kerajinan lain dari sabut kelapa yang ada.

Masalah besar yang muncul adalah dua sumber daya besar yang ada; sabut kelapa dan sumber daya manusia, tidak didukung oleh teknologi serta fasilitas yang dibutuhkan, yaitu mesin pemisah sabut kelapa, pemintal dan barang habis pakai seperti kemasan. Absennya teknologi dan fasilitas yang dibutuhkan membuat pemberdayaan orang dengan gangguan jiwa di Bantur sangat terhambat.

Melalui petisi ini, mari kita bantu Pak Soebagijono untuk memandirikan orang dengan gangguan jiwa dengan cara berdonasi!

Sejatinya, orang dengan gangguan jiwa yang sudah mulai kooperatif juga ingin mandiri dan berdaya agar tidak terikat pada masa lalunya. Yuk kita bantu! Kalau bukan kita yang bantu mereka, siapa lagi?

Link petisi:
https://kitabisa.com/bantupakbagyo
Read More