Wednesday 29 July 2015

Tentang Tuhan dan Merbabu

25 Juli 2015

“Kenapa kamu naik gunung?”
Pertanyaan itu muncul lagi sewaktu kaki ini menapak di ketinggian 3142 mdpl.
“Kenapa kamu naik gunung?”
Pertanyaan itu muncul lagi sewaktu tangan ini masih menggerakan bendera merah putih yang ada di tempat yang sama.
“Kenapa kamu naik gunung?”
Pertanyaan itu muncul lagi sewaktu mata ini menatap lurus ke arah langit yang seolah lebih dekat dibandingkan biasanya.
“Kenapa kamu naik gunung?”
Dan sekali lagi pertanyaan itu muncul sewaktu jiwa ini sedang terengkuh oleh Merbabu.
------
Desember, 2014
Pelantikan Gandewa (Pecinta Alam Fakultas Psikologi)

“Kenapa kamu naik gunung?”
“Aku…pengin lihat awan di ketinggian. Waktu SMA ga dibolehin ikut pecinta alam juga. Ya, ambisi masa muda, pengin lihat ciptaan Tuhan lebih dekat. Penasaran. Semoga ini jadi hobi.”
Jawaban paling jujur saat itu, menggantungkan angan pada Tuhan agar sempat  dekat dengan gunung yang kelak akan dipijak.
Semoga, Tuhan.
------

25 Juli 2015

Dan jiwa ini sedang terengkuh oleh Merbabu, yang puncaknya memberikan pelajaran bahwa hidup bukan sekedar ambisi dan rasa penasaran pada awan-awan yang mengelilinginya. Nyatanya, awan itu akan tetap menyelimuti merbabu dengan dan tanpa kaki-kaki yang berlelah-lelah mengejar puncak.

Kemudian aku sadar bahwa puncak, awan, ambisi, dan rasa penasaran bukan alasanku menggapai puncak-puncak gunung, berlelah-lelah mendaki, dan menyerahkan diri pada dinginnya angin kala malam. Itu bukan alasanku  berkali-kali meninggalkan kota dengan gemerlapnya demi beberapa paku bumi ciptaan Tuhan.

Di perjalanan mencapai puncak ke tiga ini, Tuhan membisikanku lewat angin Merbabu, lewat teman-teman satu perjalananku, lewat jalur Wekas yang membiarkan kaki ini tetap bergerak naik pada jalanan yang menanjak dan terjal. Tuhan merangkul jiwaku yang merindukan kelandaian pada tiap tanah yang kupijak. Dan kemudian, Tuhan mengizinkanku berada di puncak Merbabu.

Lalu aku melihat Merapi, tepat berada di depanku, berdiri tegap dan gagah, seolah berkata bahwa dia tak kalah tegap dengan Merbabu yang aku pijak saat ini. Kemudian aku melihat Merapi, walau berdiri tegap, tetap merunduk khidmat pada Sang Maha Pencipta. Senyap dan khidmat.
Maha Besar Allah, Tuhan Semesta Alam.
-----
Tuhan dan Merbabu,
Bahwa untuk sampai pada titik setinggi ini, bahwa untuk menahan emosi, bahwa untuk menyebut nama-Mu dalam tiap ketakutan yang mendesir juga ketakjuban pada ciptaan-Mu, bahwa untuk menyimpan memori tentang kuasa-Mu, bahwa untuk memastikan bahwa segumpal darah dalam diri ini baik-baik saja selama perjalanan Merbabu, masih harus banyak belajar.
Lalu,
“Kenapa kamu naik gunung?”
Maka aku jawab bahwa lewat perjalanan mendaki gunung, aku belajar.
Maka aku jawab bahwa lewat perjalanan mendaki gunung, aku mendewasakan diri.
Maka aku jawab bahwa lewat perjalanan mendaki gunung, aku lebih jatuh cinta pada-Mu, bukan karena puncak dan awan yang menghiasi saja, melainkan juga karena pertolongan-Mu dalam tiap sulit, dalam tiap keputusasaan, dalam tiap tangan yang Kau titipkan untuk membiarkan kami bertahan walau jatuh berulang-ulang.

Semoga, Engkau akan tetap menjadi alasan untuk setiap perjalananku selanjutnya.
Bukan tentang seberapa tinggi dan seberapa sulitnya nanti, melainkan tentang rasa syukur yang terselip pada jiwa ini ketika mengingat-Mu dalam perjalananku.

Maha besar Allah, Tuhan Semesta Alam.



                                                                                               
Read More

Kuliah di Psikologi, Belajar Apa?

Hi, good readers!

Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan informasi buat kamu yang penasaran seputar dunia perkuliahan di jurusan psikologi, seperti  sebenarnya psikologi itu belajar apa, mata kuliahnya apa saja, kemampuan yang dibutuhkan banget itu apa, serta prospek kerja lulusan psikologi. Oya, sebelum mulai ke pembahasan, saya mau ngasih tau dulu nih kalo di setiap universitas bisa jadi berbeda dalam membahas psikologi. Contohnya kalo di UNPAD itu lebih ke psikologi klinis, materi-materi yang berkaitan dengan psikologi klinis lebih menjadi konsentrasi utama (correct me if I’m wrong yaa). Sedangkan kalo di UI, materi-materi psikologi klinis bahkan belum ada di semester satu. UGM juga gitu kalo tidak salah. Biasanya kalau psikologi nya masuk ke rumpun IPA/SAINTEK, maka konsentrasi pembahasan psikologinya lebih ke klinis (contohnya UNPAD dan UNS). 

Nah, untuk pembahasan psikologi kali ini, saya akan menggunakan kurikulum psikologi di UI sebagai acuannya. Tulisan ini juga akan lebih berkonsentrasi pada basic things di tahun pertama kuliah di jurusan psikologi karena saya (juga) baru saja melepas embel-embel freshman menjadi sophomore hehe.

Well, here it is, Belajar apa di Psikologi UI:
Q= Question
A= Answer

Q:  Sebenernya yang jadi pembahasan utama di jurusan psikologi secara umum itu apa?
A: Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus tau dulu nih sebenernya definisi psikologi itu apa. Jadi, psikologi itu adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia.  Contohnya kenapa sih anak-anak kalau di pusat perbelanjaan suka banget nangis dan merengek-rengek ke orang tuanya, kenapa sih kalo tidur kadang aku mimpi kadang engga, kenapa aku kalo belajar suka ga fokus, kenapa sih dulu pasukannya Hitler tega banget ngebunuh banyak banget manusia yang ga bersalah. Nah, kita bakal mengupas kenapa hal-hal itu bisa terjadi  dengan metode-metode ilmiah, jadi bukan berdasarkan pendapat atau karangan aja. Ibaratnya kalo mahsiswa jurusan kimia melakukan praktikum pake cairan-cairan di lab, mahasiswa psikologi melakukan penelitian dengan manusia sebagai subjek penelitiannya di lapangan.

Q: Jadi bakal banyak penelitian kalo kuliah di jurusan psikologi ya?
A: Iya, apalagi nanti kalau udah melewati tahun pertama, bakal banyak penelitian dan eksperimen. Tapi kalau masih tahun pertama, penelitiannya baru satu dua kok.

Q: Terus kalo di tahun pertama masih jarang penelitian,  kuliahnya ngapain aja  dong?
A: Tahun pertama kita belajar basic-nya psikologi untuk tiga tahun setelahnya. Kita diajarin dan dibiaskan dulu mengenal jurnal-jurnal internasional, cara-cara penulisan ilmiah yang berkiblat pada APA (American Psychological Association) seperti cara sitasi dan nulis reference yang benar, dan sedikit materi-materi dasar psikologi juga statistik.

Q:  kok belajar nulis sitasi sama reference lagi kaya SMA? Ga asik dong? Terus kok itu ada statistik? Emang di psikologi ada matematika?
A: Yang ini beda kok, lebih menantang daripada SMA karena yang jadi dasar penulisan juga beda hehe. Asik kok! Iya, sampe akhir kuliah juga bersentuhan dengan hitung-hitungan dan ada matematika. Jadi kalau masuk psikologi jangan berniat untuk melepaskan diri dari matematika yaa.

Q: Kalo materi kuliah yang lain ada hapalannya gaa?
A: Hapalan jadi makanan sehari-hari kok. Di tahun pertama kita juga udah dicekokin dengan hapalan-hapalan. Tapi jangan khawatir, kamu pasti bisa! 

Q: Bakal ketemu sejarah juga kah di psikologi?
A: Bakal! Hehe Tapi bukan sejarah Indonesia kok. Sejarahnya itu sejarah psikologi dari zaman Sebelum Socrates, Aristotle, Plato sampai modern psychology. Sejarah ini lebih banyak bahas tentang psikologi di Amerika dan Inggris karena dari situlah psikologi muncul.

Q: Katanya ada biologinya juga ya di psikologi?
A: YUUUP! Di semester dua ada mata kuliah Sistem Saraf dan Tingkah Laku (SSTL). Matkul ini banyak biologinya soalnya bahas tentang hubungan tingkah laku dengan otak, saraf, dan kawan-kawannya. Semacam neuroscience gitu. Asik banget dan belajar banyak banget tentang kasus-kasus neuroscience yang ada di Amerika sama Inggris!  Ini mata kuliah kesukaan saya.

Q: Kompleks yaa, ada IPA nya ada IPSnya. Terus kemampuan yang dibutuhkan untuk bisa survive apa?
A: Yang paling penting kemampuan untuk punya KEMAUAN. Sisanya paling bahasa inggris, membaca, logika. Kenapa bahasa inggris? Karena buku kuliahnya inggris semua, terus kalo penelitian atau bikin esai jurnalnya juga inggris. Jadi kalo bisa bahasa inggris akan lebih membantu. Membaca ya karena dengan membaca kamu bisa dapet ilmu lebih banyak. Logika bisa digunakan untuk ngebantu ketika hapalan, biar ga terlalu berat. 

Q: Yah, ga bisa bahasa inggris
A: Don’t worry be happy! Itu semua bisa dipelajari, nanti lama-lama akan terbiasa kok. Beneran deh! Terus banyak juga temen-temen dan dosen yang bakal bantu kamu memahami materi. Dosennya kalo jelasin juga pake bahasa Indonesia kok. Semangat!

Q: Psikologi di UI itu IPA atau IPS?
A: IPS. Jadi kalau mau masuk ke sini pakai jalur tes yang SOSHUM.

Q: Yah, aku IPA, ga bisa dong ke psikologi UI?
A: Bisa! Saya juga dari IPA kok. Kalo SIMAK/SBM ambil aja jalur SOSHUM atau kalau kamu kuat ambil IPC. Kalo undangan juga bisa kok ambil psikologi UI walaupun dari IPA. Tapi ada kabar katanya tahun 2016 SNMPTN harus sesuai sama bidang di SMA sih, tapi belum pasti kok itu. Btw teman-teman saya juga banyak yang dari IPA.

Q: Terus prospek kerja lulusan S1 Psikologi apa aja?
A: Banyak! Bisa jadi HRD di perusahaan, bisa kerja di bidang advertisement dan tim kreatif, bisa jadi peneliti, bisa kerja di LSM, bisa juga jadi PNS dan kerja di lembaga pemerintahan (setiap lembaga pasti membuthkan lulusan psikologi kok hehe), kerja di biro psikologi juga bisa dan lain-lain. Tapi lulusan S1 belum bisa jadi psikolog yaa. Kalo mau jadi psikolog harus ambil profesi. Intinya selama ada manusia, ilmu psikologi masih tetap dibutuhkan. 

Q: Okedeh, makasih banyak jawabannya!
A: Sama-sama! Kalau ada yang mau ditanyakan tanya aja yaa!

Read More

Friday 3 July 2015

GIVE AND GET

“Why do we give if we don’t get something?”

That sentence pushed my thought, really. It elicited my curiosity more and more. I took long minutes to define that very question. Only define. So, what was basically the meaning of ‘give’ and ‘get’ to that question? What did ‘something’ mean? Was it big thing or small thing? And stuff like that. Those ‘definition things’ left me with my big conclusion; subjective!
-----
pict from here

Well, it is pretty hard not to involve our own perspective, our subjectivity which will cause any pros and cons related to our idea, in writing. But what you are reading now will drive you to it, to my subjectivity.

Back to the question!  “Why do we give if we don’t get something?”
I will correlate this question to one of psychology theory with behaviorism school of thought. In behaviorism, it is said that people will do something in return of stimulus they get. In simple, stimulus will elicit the response. For example, your little brother who loves candy will cry if you take it. The response is crying and it appears because of the stimulus which is represented by taking candy. The other example is you may study harder and harder in the next term if you get unsatisfied GPA. So, do you see the stimulus and response there? If you can find it, I’m sure it will be easier for you to follow what I write here. When stimulus increases the behavior or response it is called ‘reward’, in contrary, when it decreases behavior it is called ‘punishment’.

Related to behaviorism concept or stimulus and response concept, usually people will give because they have expectation to get something in return. Something in returns becomes the stimulus which elicits giving as the response. It will drive higher intensity (quality or quantity) in giving, so that’s why it becomes a reward. The more we get something in return as reward, the higher our intensity of giving will be. So, why do we (still) give if we don’t get something? Is concept of stimulus and response no longer functional? To answer this question, we have to know the definition of ‘something’ in that question.

 If I assume ‘something’ there as the things which will we get sooner after we give but in this case (related to the main question) we don’t get it, so the question becomes ‘why do we (still) give if we don’t get something sooner after giving?’. So, why does it happen?  The fact that we don’t get something sooner after giving doesn’t decrease probability to get something later (and may be bigger). So it drives people to give even they don’t get something sooner after giving. The example of long term things which will be gained are future belief of being helped later when they’ll be in trouble, or if they do that for the sake of God, they believe there will be something in return which will be given by God later. Reward doesn’t only come sooner but it also comes later. And mostly, the later reward will be more worthy.

 There is another definition of ‘something’ on ‘why do we (still) give if we don’t get something?’ question. If something there means the things we could see, touch, and use or something visible and priceless, so the reason why we still give even don’t get them in return is that despite not getting those priceless things, giving still gives us peace, we feel so happy after giving and the burdens we carry on are faded away. Those feelings can be the reward, but we may not attain to them, so we feel like we get nothing in return of giving.

Through those long sentences, I give my opinion that:
 in some parts of life we feel like we only give, give, and give without receiving something in return. We feel like we care and do too much for people we attain at. It perhaps makes us disappointed and unhappy. But do you know a secret about it? Well, actually they’ve already given us the ‘something in return’ things; the invisible happiness which ONLY can be seen if we see it through another perspective. Moreover, everything also happens for reason, like the concept of behaviorism school of thought that there were no responses without stimulus.
Read More

Tuesday 7 April 2015

Apakah Salah Memiliki Ayah Seorang Polisi?

Catatan ini saya buat karena lama-lama saya merasa jengah untuk diam dan tidak berbicara dari enam tahun lalu. Beberapa pihak mungkin menganggap ini adalah hal kecil atau mungkin tidak bermakna, tapi mari lihat ke sisi lain, sisi yang menganggap hal itu bahkan sangat bermakna.

Sore tadi digelar razia kendaraan bermotor di kampus saya oleh kepolisian dan dibantu beberapa warga kampus. Seperti biasa, ramai perbincangan sana-sini mengenai razia yang diadakan, akibatnya polisi pun juga menjadi topik. Apakah hal ini hanya sekali terjadi? Tidak. Dari enam tahun yang lalu, saya sadar akan adanya kontigensi antara razia kendaraan bermotor dan polisi.  Hal itu dimungkinkan adanya oknum dari kepolisian yang kadang kala tidak mematuhi prosedur razia yang telah dirancang kemudian membuat jengkel para pelanggar. Kejengkelan itu tak hanya berhenti ketika surat-surat mereka kembali, namun terjadi lagi dan lagi seperti rantai yang menyambung satu sama lain. Berita yang beredar pun menjadi bahan generalisasi dari banyak pihak yang membentuk pandagan umum tentang citra buruk polisi. Pertanyaan besarnya adalah: Apakah semua polisi melakukan hal yang sama sehingga dapat menjadi bahan generalisasi? Ibaratnya, apakah benar apabila semua muslim digeneralisasikan sebagai teroris padahal hanya segelintir muslim yang melakukan teror?

Saya adalah seorang anak dari polisi dan bukan pejabat. Ayah saya hanya menyebrangkan jalan tiap pagi ketika ramai-ramainya anak berangkat sekolah, menyidik beberapa kasus kecelakaan yang terjadi, mengawal orang-orang ketika mereka menonton konser atau sekedar bermalam minggu, membantu mengamankan jalanan yang kacau ketika jam pulang kerja juga menertibkan keadaan jalanan. Ayah saya hanya membantu orang-orang sebagai tugasnya menjadi seorang polisi. Itu saja. 

Namun, setelah bertambah dewasa, saya melihat hal yang diterima oleh ayah saya ternyata sangat menyakitkan. Hinaan dan cercaan untuk polisi sudah banyak didapatkan, termasuk kontigensi yang sudah saya jelaskan di awal. Selama berbelas tahun ayah saya menjadi polisi, dia tidak pernah mengeluh pada anak-anak dan istrinya, bahkan beliau bertingkah seperti tidak mengetahui hal tersebut. Tapi, adalalah hal yang tidak mungkin apabila ayah saya tidak mengetahuinya, bukan?

Setelah bertambah dewasa, saya sebagai anak lebih melihat hal yang nyata dan menyakitkan. Suatu pagi ibu saya pernah bercerita bahwa di sekolah, adik saya yang masih SD pernah di panggil dengan sebutan ‘anak tukang tilang’  oleh teman-temannya. Bagimana tidak hancur hati seorang ibu yang bersumaikan polisi mendengar kabar itu? Sedang saya pun menghadapi teman-teman yang suka berkata ‘polisi lagi razia untuk cari tambahan uang akhir bulan’, ‘polisi lagi kekurangan uang jadi ada razia’ merasakan sakit hati. Tapi saya diam. Setelah enam tahun saya diam namun sadar bahwa itu semua adalah ketidakbenaran yang dianggap benar oleh sebagian besar kalangan, maka saya tidak tahan lagi untuk diam.

Apakah sehina itu pekerjaan ayah saya untuk menghidupi saya, adik-adik, dan ibu saya?
Mungkin bagi kalian itu adalah hal kecil. Tapi bagi kami?
Mungkin bagi kalian itu hanyalah bahan bercandaan. Tapi apakah bagi kami itu lucu?  

Mungkin dengan menuliskan ini, saya akan dicap sebagai manusia yang baper dan mementingkan ego sendiri. Tapi saya sudah muak menjadi anak yang dianggap baik namun tega melihat ayah sendiri dikatai. Sampai kapan seorang anak bisa tahan mendengar orang tunaya dipandang sebelah mata selama enam tahun?

Terkadang hal-hal kecil bisa menyakitkan hati, termasuk generalisasi. Bahkan Tuhan tidak pernah mengeneralisasi umat-Nya sebagai pendosa ulung. Lalu, mengapa umat Tuhan malah melampaui-Nya?  
Salam damai, semoga kita semua tetap dalam kebaikan. Mohon maaf apabila banyak yang tidak berkenan.
Read More

Sunday 8 March 2015

Leaving, Moving

The hardest part in life: leaving.

Saya tidak tahu sejak kapan saya tidak begitu menyukai kata 'pergi'. Lama kelamaan, ketika umur saya semakin bertambah, saya semakin menyadari betapa beratnya untuk pergi. Ada rasa berat yang disertai rasa menyesal dan ketidaknyamanan saat saya memutuskan untuk pergi, walau hanya sekedar naik gunung. Anehnya, rasa negatif itu selalu muncul di awal langhkah saya untuk pergi. Walaupun pergi hanya sehari. 
Campuran rasa itu kemudian saya simpulkan menjadi rasa berat hati yang menakutkan. Saya sangat tidak suka bila rasa itu muncul lagi, tapi apa boleh buat, di sisi lain saya sangat membutuhkan 'pergi'.

Pergi meninggalkan kampung halaman untuk mencari ilmu di sini juga pernah menjadi bagian terberat. Rasanya logika telah menerima dan menyusun dengan cantik apa-apa yang seharusnya dipersiapkan untuk pergi dan meninggalkan segala kenyamanan di sana. Tapi di dalam kereta, rasa itu selalu muncul walau hanya 2 sampai 5 menit dan itu adalah 5 menit paling mengganggu karena mampu mendominasi segala macam perasaan yang seharusnya bisa saya kontrol. 5 menit paling saya benci. Itulah mengapa saya jarang pulang, bukan karena saya tak ingin, tetapi ketika saya pulang perasaan paling saya benci akan muncul lagi dua kali: dalam kereta menuju Kebumen dan kereta menuju Depok. 

Setiap saya naik gunung atau berlibur pun akan selalu seperti itu, 5 menit pertama paling menakutkan selalu datang lagi. Awalnya saya pikir dengan menelpon kedua orang tua perasaan itu akan hilang, tapi tidak, justru durasi ketakutannya semakin diperpanjang, dan itu lebih menyiksa. Maka dari itu, bila saya ingin pergi ke gunung misalnya, saya harus menghubungi kedua orang tua satu bulan sebelum dan ketika hari H, saya tidak perlu menlepon, hanya memberi kabar lewat sms atau BBM bapak.

Jangankan pergi berlibur atau naik gunung, hanya pergi rapat tertutup organisasi di Tangerang pun rasa paling menyebalkan itu muncul selalu dan selalu. Hingga membuat saya menyerah dan berpasrah bila rasa itu muncul. Saya tidak dapat menghindari itu karena tidak mungkin bagi saya untuk tidak pergi. Bagi saya, menetap adalah anugrah. Tetapi berpergian adalah anugrah yang lain. Pada akhirnya, hanya interaksi saya dengan Tuhan yang mampu meredam sedikit demi sedikit perasaan itu. Caranya dengan berdoa. Maka dari itu, saya tidak pdapat membayangkan apabila saya tidak berTuhan. Mungkin saya tidak dapat pergi.

Bagi yang tak memiliki ketakutan seperti itu, mungkin akan merasa bahwa apa yang saya ceritakan hanya ilusi. Silakan, itu hak Anda untuk menilai. Namun saya akan tetap melanjutkan cerita ini.

Bulan depan saya harus pergi lagi. Lebih tepatnya kepergian 3 kali: kembali ke Kebumen, naik gunung, pindah. Itu artinya akan ada minimal 6 perasaan tidak nyaman yang akan menghampiri. Membayangkan saja sudah membuat saya tidak nyaman. Ah, sulit. Apalagi kepergian yang terakhir: pindah. Saya belum pernah melakukan itu sebelumnya. Tantangan baru untuk saya. Padahal hanya sekedar pindah tempat kos meninggalkan kenyamanan yang saya dapatkan ketika di asrma UI, kenyamanan dikelilingi teman-teman satu daerah dan kenyamanan finansial yang semua serba murah. Tapi bagaimana lagi, saya memang butuh untuk pindah dan pergi. 

The hardest part in life is leaving. I know. If I can tell you the reason, it is because I hate being left. Saya takut ditinggalkan. It was enough for me when my daddy left me and my mom in the war of Gerakan Aceh Merdeka. It was enough. Even my dad came back, it still gives me pain and scar of being left. 

Anehnya, ketika saya takut untuk ditinggalkan, saya malah memilih untuk banyak berpergian padahal kematian pasti akan datang, entah saya yang akan ditinggal terlebih dahulu, atau saya yang akan meninggalkan. 

But still, leaving is the hardest part.


Read More

Saturday 28 February 2015

Be Aware, Be Careful To Define L O V E

Love is the bounding of two or three or four or hundred millions. It's boundless. Jadi, kalau kalian mencintai sendiri, mungkin itu hanya ilusi. 
Mencintai sendiri. Saya tidak tahu pengganti kata lain dari mencintai sendiri. Bila saya tahu, mungkin sudah saya ganti karena itu terdengar miris. Saya mendefinisikan 'mencintai sendiri' dengan suatu keadaan di mana seseorang merasa memiliki frekuensi khusus pada orang lain, namun sayangnya frekuensi mereka tidak sama dan tidak pernah bertemu. Seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan, hanya saja perbedaannya terletak pada keadaan di mana objek yang dicintai belum tentu mencintai orang lain atau sedang ada dalam kondisi tidak mencintai siapapun selain Tuhan dan mama papanya.


Mencintai sendiri, pernah? Kalau kita main jujur-jujuran yang jawabannya hanya akan di lontarkan dalam hati masing-masing, apakah akan lebih banyak jawaban 'ya'? Mungkin. Terlepas dari apa yang menjadi prinsip hidup setiap orang, sepengetahuan saya, love is not a sin, it's not a mistake. Keberagaman interpretasi  dari cinta yang mungkin memunculkan pro dan kontra, tapi sekali lagi love is not a mistake. Lalu apa yang menjadi masalah? Saya tidak akan membahas di sini.

Kembali lagi pada kondisi mencintai sendiri. Apakah sebenarnya mencintai sendiri memang ada? Bila saya menggunakan Signal Detection Theory yang ada di psikologi, maka saya akan jawab: ya, mencintai sendiri memang ada. Dalam teori tersebut ada empat kemungkinan yang terjadi ketika sesorang merasa menerima 'kode' dari orang lain, yaitu:

1. Hit: keadaan di mana Anda merasa dia memberikan kode dan ternyata memang benar, kode itu untuk Anda. Love is accepted. Misalnya, ketika ada lelaki yang melamar seorang wanita dan wanita itu bilang 'ya'.
2. Miss: keadaan di mana Anda diberikan kode oleh seseorang, namun Anda tidak peka. Pada akhirnya the code is only the code, it doesn't turn to love. Tapi tidak semua ketidakpekaan itu merupakan ketidakpekaan yang sesungguhnya, bisa jadi dia memang belum siap untuk peka terhadap hal bernama cinta :)
3. False Alarm: kalau ini merupakan bentuk dari mencintai sendiri. Ada dua hal yang menyebabkan: pertama, kamu yang terlalu berharap, atau yang kedua kamu yang terlalu sensitif dengan menganggap setiap keramahan yang dia berikan adalah cinta, padahal memang dia adalah orang yang ramah. She/he is kind to everyone, instead.
4. Correct Rejection: kondisi di mana tidak ada kode dan tidak ada kepekaan. No love at all. 


Jadi, masih yakin kalau mencintai sendiri itu benar adanya? Tunggu dulu. Taukah Anda bahwa teori itu hanya berlaku man to man. Satu orang ke satu orang lain. Nah, bisa jadi  Anda merasa bahwa he/she seems not interested with you, namun ada orang lain yang merasa intersted hanya saja Anda yang belum peka :) Be postive.  Namun, jangan juga terlalu peka dan sensitif pada setiap kebaikan dan keramahan yang dia berikan. Bisa jadi, dia memang orang yang melakukan hal baik ke semua orang :)


So, be aware and be careful to define love. It may be good and unintentionally bad. 

Read More

Friday 20 February 2015

Kalimat Yang Belum Saya Ucapkan Namun Ingin Diucapkan

Norma mengikat kita semua. Satu kalimat yang menjadi penjelas mengapa manusia yang ingin brutal membatasi dirinya. Bila diambil contoh tersederhana, maka norma juga membatasi manusia untuk berkata. Berkata dalam nyata atau hanya sekedar dalam media sosial. 

Pandangan manusia juga sama mengikatnya. Satu kalimat yang menimbulkan pertahanan diri yang kuat untuk mengerem yang ingin dikata. Takut di cap alay, norak, tidak gaul, begitu katanya. Sebegitu besar kah andil sebuah pandangan manusia?

Norma dan pandangan manusia kadang menjenuhkan. Secara sadar pun tidak sadar kita yang buat mereka ada, kita juga yang jengah dibuatnya. Kadang terlalu mengikat, kadang memang harus ada yang diikat. Katanya demi kemaslahatan umat, lalu saya mengamini.

Tapi di sini, saya mencoba melupakan dua hal itu karena saya ingin sekali mengatakan bahwasanya:

tidak setiap mendung akan turun hujan. memang benar. tapi kalau kamu lihat aku mendung, pasti akan ada hujan karena sesungguhnya tidak ada hati selebar langit yang kamu tuankan. 

jangan pernah membukakan pintu bila akhirnya kamu pun yang suruh aku keluar. jangan. lebih baik tutup saja rapat-rapat agar aku tahu kamu hanya mampu menerimaku sebagai pengetuk pintu bukan tamu.

yang terakhir, aku bukan Tuhan. jadi maafkan.




NB: Ketika saya menulis ini, saya berpikir bahwa penggunaan majas akan ditiadakan. Tapi kembali lagi, saya orang jawa yang tidak tega-an. 
Read More

Wednesday 18 February 2015

Salju Pertama #FF2IN1

"When will we meet our first snow?"

Malam ini cukup pekat atau mungkin malam-malam lain memang sepekat ini sebelumnya. Aku mengangkat cangkir yang berisi kopi hitam favoritku seolah membandingkan lebih pekat mana antara cairan ini dengan gelapnya langit. 

Kepekatan malam kemudian beralih dengan udara yang lebih menusuk tulang. Dua lapis jaket tebal masih tak kuasa menahan serangan dingin yang dikirim sang malam. Kemudian, aku memilih untuk bergerak. Aku ingat, dulu kamu pernah bilang bahwa bergerak akan menghangatkan dibanding secangkir kopi hingga wiski. 

Lalu aku bergerak mendekati jendela dan melihat keadaan luar. Langit masih sama gelapnya, namun tanah tak terlihat. Hanya ada tumpukan salju yang ku lihat semakin meninggi. 

Ah, salju ya. 
Aku lalu ingat kamu.
Dengan seberkas harapan, kamu pernah menanyakan padaku,"where will we meet our first snow?"
Lalu, dulu aku menjawab,"in the city of light, both of us will meet our first snow."

Percapakan kita memang doa. Kini, kita memandang salju yang sama. Walaupun bukan di kota penuh cahaya seperti yang aku duga, kita melihat salju yang sama. Walaupun aku dan kamu hanya melihat salju dari jendela, kita tetap melihat salju yang sama. Walaupun jendela kita berbeda dan saling bersebrangan, kita tetap lah melihat salju yang sama. Dari jendela ini aku bisa melihatmu di hunian sebrang sedang menatap salju yang sama denganku. Kamu melihat salju pertama kita dengan memeluk seorang wanita cantik yang  kamu sebut dia istrimu dan seorang bayi mungil yang kamu sebut dia anak pertamamu.

Malam ini, kita benar-benar melihat salju yang sama, sepeti doa yang kita amini dulu. Hanya saja ada kesalahan yang aku buat: ada yang kurang dalam doaku dan kamu mengamini. Bagaimana pun juga, salju malam ini adalah jawabam dari sebongkah pertanyaan yang telah membeku,"where will we meet our first snow?"


Is it our first snow? Yes, it is.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dariTiket.com dan nulisbuku.com#TiketBaliGratis.

Read More