Tuesday 7 April 2015

Apakah Salah Memiliki Ayah Seorang Polisi?

Catatan ini saya buat karena lama-lama saya merasa jengah untuk diam dan tidak berbicara dari enam tahun lalu. Beberapa pihak mungkin menganggap ini adalah hal kecil atau mungkin tidak bermakna, tapi mari lihat ke sisi lain, sisi yang menganggap hal itu bahkan sangat bermakna.

Sore tadi digelar razia kendaraan bermotor di kampus saya oleh kepolisian dan dibantu beberapa warga kampus. Seperti biasa, ramai perbincangan sana-sini mengenai razia yang diadakan, akibatnya polisi pun juga menjadi topik. Apakah hal ini hanya sekali terjadi? Tidak. Dari enam tahun yang lalu, saya sadar akan adanya kontigensi antara razia kendaraan bermotor dan polisi.  Hal itu dimungkinkan adanya oknum dari kepolisian yang kadang kala tidak mematuhi prosedur razia yang telah dirancang kemudian membuat jengkel para pelanggar. Kejengkelan itu tak hanya berhenti ketika surat-surat mereka kembali, namun terjadi lagi dan lagi seperti rantai yang menyambung satu sama lain. Berita yang beredar pun menjadi bahan generalisasi dari banyak pihak yang membentuk pandagan umum tentang citra buruk polisi. Pertanyaan besarnya adalah: Apakah semua polisi melakukan hal yang sama sehingga dapat menjadi bahan generalisasi? Ibaratnya, apakah benar apabila semua muslim digeneralisasikan sebagai teroris padahal hanya segelintir muslim yang melakukan teror?

Saya adalah seorang anak dari polisi dan bukan pejabat. Ayah saya hanya menyebrangkan jalan tiap pagi ketika ramai-ramainya anak berangkat sekolah, menyidik beberapa kasus kecelakaan yang terjadi, mengawal orang-orang ketika mereka menonton konser atau sekedar bermalam minggu, membantu mengamankan jalanan yang kacau ketika jam pulang kerja juga menertibkan keadaan jalanan. Ayah saya hanya membantu orang-orang sebagai tugasnya menjadi seorang polisi. Itu saja. 

Namun, setelah bertambah dewasa, saya melihat hal yang diterima oleh ayah saya ternyata sangat menyakitkan. Hinaan dan cercaan untuk polisi sudah banyak didapatkan, termasuk kontigensi yang sudah saya jelaskan di awal. Selama berbelas tahun ayah saya menjadi polisi, dia tidak pernah mengeluh pada anak-anak dan istrinya, bahkan beliau bertingkah seperti tidak mengetahui hal tersebut. Tapi, adalalah hal yang tidak mungkin apabila ayah saya tidak mengetahuinya, bukan?

Setelah bertambah dewasa, saya sebagai anak lebih melihat hal yang nyata dan menyakitkan. Suatu pagi ibu saya pernah bercerita bahwa di sekolah, adik saya yang masih SD pernah di panggil dengan sebutan ‘anak tukang tilang’  oleh teman-temannya. Bagimana tidak hancur hati seorang ibu yang bersumaikan polisi mendengar kabar itu? Sedang saya pun menghadapi teman-teman yang suka berkata ‘polisi lagi razia untuk cari tambahan uang akhir bulan’, ‘polisi lagi kekurangan uang jadi ada razia’ merasakan sakit hati. Tapi saya diam. Setelah enam tahun saya diam namun sadar bahwa itu semua adalah ketidakbenaran yang dianggap benar oleh sebagian besar kalangan, maka saya tidak tahan lagi untuk diam.

Apakah sehina itu pekerjaan ayah saya untuk menghidupi saya, adik-adik, dan ibu saya?
Mungkin bagi kalian itu adalah hal kecil. Tapi bagi kami?
Mungkin bagi kalian itu hanyalah bahan bercandaan. Tapi apakah bagi kami itu lucu?  

Mungkin dengan menuliskan ini, saya akan dicap sebagai manusia yang baper dan mementingkan ego sendiri. Tapi saya sudah muak menjadi anak yang dianggap baik namun tega melihat ayah sendiri dikatai. Sampai kapan seorang anak bisa tahan mendengar orang tunaya dipandang sebelah mata selama enam tahun?

Terkadang hal-hal kecil bisa menyakitkan hati, termasuk generalisasi. Bahkan Tuhan tidak pernah mengeneralisasi umat-Nya sebagai pendosa ulung. Lalu, mengapa umat Tuhan malah melampaui-Nya?  
Salam damai, semoga kita semua tetap dalam kebaikan. Mohon maaf apabila banyak yang tidak berkenan.
Read More