Wednesday 24 August 2016

Meja Tenis Meja Tempat Kami Mengeja: Gambaran Pendidikan Di Sebuah Desa Di Jawa


"...saya merasa bahwa sebangga-bangganya guru kepada anak didiknya adalah ketika mereka tetap semangat belajar dengan kondisi apapun dan mengeja di atas (m)eja manapun."

Selamat Datang Di Maribaya

sambutan selamat datang dari anak-anak Maribaya


Tujuh bulan setelah Januari saya kembali ke sebuah dukuh (bagian yang lebih kecil dari desa) di daerah Tegal bagian selatan, dukuh Maribaya. Banyak yang berubah, tentu saja. Banyak yang bertambah, seperti jumlah bayi yang baru lahir, ibu yang hamil, pasangan suami istri, beberapa rumah yang didirikan, serta bertambahnya cerita sedih bahagia yang disimpan warganya.

Maribaya selalu menyimpan ceritanya sendiri. Maribaya selalu menggerakan reaksi ketidaksetujuan saya pada beberapa hal yang diambil oleh satu dua warganya seperti tidak melanjutkan sekolah ke SMP atau sederajat (yang biayanya masih ditanggung pemerintah alias gratis) melainkan memilih menjadi penjual nasi goreng di luar kota tepat setelah lulus SD (saya tidak mempermasalahkan apa pekerjaan yang dia ambil, melainkan waktunya. Bagi saya, setelah lulus SD bukan merupakan jawaban yang tepat. Tapi katanya, dia sudah terlanjur takut dan trauma dengan sekolah). Maribaya juga menggerakan kesetujuan serta kebahagiaan saya atas berkembangnya banyak hal baik seperti beberapa anak yang mulai memberanikan diri melanjutkan sekolah ke SMP terbaik di kecamatannya, serta orang tua yang mulai menyesali menikahkan anak perempuannya di usia 14 tahun (saat dia sedang asik-asiknya bermain bersama buku dan pena yang dia idam-idamkan di SMPnya).

Kabar Sekolahku Baik-Baik Saja

Di balik itu semua, saya ingin menceritakan tentang satu hal yang sangat menarik perhatian saya.

Di dukuh Maribaya terdapat satu sekolah dasar, yaitu SD Negeri 2 Rembul. Jarak antara sekolah dan rumah warga lumayan jauh. SD dikelilingi ladang dan persawahan yang sangat luas dan berhadapan dengan jalan alternatif antar kota yang tergolong sepi. Tidak ada bangunan lain selain SD tersebut, sejauh mata memandang, hanya ada hijaunya ladang dan suara kendaraan yang kadang berlalu-lalang.

pulang sekolah


Bulan Januari lalu (ketika saya menjadi volunteer untuk team teaching di kelas 1), pihak sekolah memutuskan untuk memisahkan atau membagi dua sekolah tersebut. Kelas 1 dan 2 berada di lingkungan rumah warga dengan tujuan untuk menarik anak-anak agar bersekolah karena untuk datang ke sekolah tidak perlu berjalan jauh, serta untuk alasan keamanan. Sedangkan kelas 3-6 tetap berada pada bangunan lama karena dianggap sudah cukup umur untuk berangkat ke sekolah dengan jarak yang lumayan. Jangan bayangkan kelas 1 dan 2 berada pada bangunan baru yang sekolah buat di tengah perkampungan warga. Nyatanya, kelas 1 dan 2 hanya menumpang pada bangunan kecil tempat anak-anak di Maribaya belajar mengaji (TPQ atau madrasah). Walau begitu, letak bangunan yang masih berada di lingkup perkampungan warga memberikan kesan keamanan tersendiri bagi anak-anak.

kalau lelah berjalan kaki, anak-anak menggunakan kendaraan yang disembut 'ompreng' untuk pulang atau berangkat sekolah

Selama Januari saya berada di sana dan tanggal 18 Agustus kemarin, saya beserta tim dari Gerakan Universitas Indonesia Mengajar, kembali ke Maribaya. Ada yang kurang ketika kami memasuki dukuh tersebut; tidak ada suara anak kelas 1 dan 2 belajar membaca atau bahkan tertawa. Saya datangi bangunan kecil tersebut dan yang tersisa hanya bangunan kosong dengan tumpukan pasir di depannya. Kemana mereka?

Usut punya usut, kelas 1 dan 2 ternyata dipindahkan di sekolah lama bersama kelas 3 hingga 6, ibaratnya kembali berkumpul bersama keluarga. Ketika saya tanya alasannya, tidak bertambahnya jumlah murid merupakan jawaban atas pemindahan tersebut. Hanya ada tujuh peserta didik baru yang mendaftarkan diri di kelas 1 dan itu berarti pemindahan kelas 1 dan 2 menjadi lebih dekat tidak memberikan dampak apapun. Saya agak menyayangkan hal tersebut, sayang sekali mereka harus menempuh jarak yang jauh untuk pergi ke sekolah. Namun di sisi lain, saya sangat bahagia karena akhirnya mereka bisa berkumpul di sekolah asli mereka dan mencicipi indahnya lapangan yang ada di sekolah dengan kelas yang agak lebih lebar dibandingkan bangunan yang lalu, sehingga mereka dapat ikut upacara dan berolah raga di lapangan mereka sendiri.

lapangan SD N 2 Rembul


Kelas 'Baru', Meja 'Baru'

Saya bergegas menuju ruang kelas 1. Dari jarak beberapa meter sudah terdengar suara anak-anak mengeja huruf dan suara seorang ibu guru yang sabar membantu menyebutkan huruf. Semakin mendekat, saya melihat mereka duduk berkeliling di satu meja besar.
"Wah, sangat menyenangkan duduk berkeliling ketika sedang belajar di kelas, itu memberikan kesan lebih hangat dan rileks dibandingkan ketika duduk dengan posisi formal pada sekolah umumnya," pikir saya.

Ketika saya mengarahkan mata saya pada meja besar  yang mereka gunakan, ternyata itu bukan meja belajar, meja berwarna biru yang mereka gunakan adalah meja untuk tenis meja. Ya, itu meja tenis meja yang berubah menjadi meja belajar. Dalam keadaan seperti ini, rasanya apapun memang bisa digunakan untuk belajar.



Entah karena mereka masih kelas satu, atau memang karena mereka nyaman dengan meja itu, tidak ada kata protes yang diucapkan oleh mereka. Proses belajar mengajar tetap berjalan sebagai mana mestinya. Mereka tetap bersemangat untuk belajar mengeja bagaimana pun bentuk mejanya karena akan selalu ada kata eja di setiap (m)eja yang mereka pakai.


Saya hanya pernah menjadi 'guru kelas satu' selama satu bulan dan masih sanagat perlu belajar, belajar, dan belajar. Dalam kasus ini, saya merasa bahwa sebangga-bangganya guru kepada anak didiknya adalah ketika mereka tetap semangat belajar dengan kondisi apapun dan mengeja di atas (m)eja manapun.


Jakarta, 24 Agustus 2016


Bu Uli Yang Ingin Melihat Kalian Tumbuh







Read More