Wednesday 29 July 2015

Tentang Tuhan dan Merbabu

25 Juli 2015

“Kenapa kamu naik gunung?”
Pertanyaan itu muncul lagi sewaktu kaki ini menapak di ketinggian 3142 mdpl.
“Kenapa kamu naik gunung?”
Pertanyaan itu muncul lagi sewaktu tangan ini masih menggerakan bendera merah putih yang ada di tempat yang sama.
“Kenapa kamu naik gunung?”
Pertanyaan itu muncul lagi sewaktu mata ini menatap lurus ke arah langit yang seolah lebih dekat dibandingkan biasanya.
“Kenapa kamu naik gunung?”
Dan sekali lagi pertanyaan itu muncul sewaktu jiwa ini sedang terengkuh oleh Merbabu.
------
Desember, 2014
Pelantikan Gandewa (Pecinta Alam Fakultas Psikologi)

“Kenapa kamu naik gunung?”
“Aku…pengin lihat awan di ketinggian. Waktu SMA ga dibolehin ikut pecinta alam juga. Ya, ambisi masa muda, pengin lihat ciptaan Tuhan lebih dekat. Penasaran. Semoga ini jadi hobi.”
Jawaban paling jujur saat itu, menggantungkan angan pada Tuhan agar sempat  dekat dengan gunung yang kelak akan dipijak.
Semoga, Tuhan.
------

25 Juli 2015

Dan jiwa ini sedang terengkuh oleh Merbabu, yang puncaknya memberikan pelajaran bahwa hidup bukan sekedar ambisi dan rasa penasaran pada awan-awan yang mengelilinginya. Nyatanya, awan itu akan tetap menyelimuti merbabu dengan dan tanpa kaki-kaki yang berlelah-lelah mengejar puncak.

Kemudian aku sadar bahwa puncak, awan, ambisi, dan rasa penasaran bukan alasanku menggapai puncak-puncak gunung, berlelah-lelah mendaki, dan menyerahkan diri pada dinginnya angin kala malam. Itu bukan alasanku  berkali-kali meninggalkan kota dengan gemerlapnya demi beberapa paku bumi ciptaan Tuhan.

Di perjalanan mencapai puncak ke tiga ini, Tuhan membisikanku lewat angin Merbabu, lewat teman-teman satu perjalananku, lewat jalur Wekas yang membiarkan kaki ini tetap bergerak naik pada jalanan yang menanjak dan terjal. Tuhan merangkul jiwaku yang merindukan kelandaian pada tiap tanah yang kupijak. Dan kemudian, Tuhan mengizinkanku berada di puncak Merbabu.

Lalu aku melihat Merapi, tepat berada di depanku, berdiri tegap dan gagah, seolah berkata bahwa dia tak kalah tegap dengan Merbabu yang aku pijak saat ini. Kemudian aku melihat Merapi, walau berdiri tegap, tetap merunduk khidmat pada Sang Maha Pencipta. Senyap dan khidmat.
Maha Besar Allah, Tuhan Semesta Alam.
-----
Tuhan dan Merbabu,
Bahwa untuk sampai pada titik setinggi ini, bahwa untuk menahan emosi, bahwa untuk menyebut nama-Mu dalam tiap ketakutan yang mendesir juga ketakjuban pada ciptaan-Mu, bahwa untuk menyimpan memori tentang kuasa-Mu, bahwa untuk memastikan bahwa segumpal darah dalam diri ini baik-baik saja selama perjalanan Merbabu, masih harus banyak belajar.
Lalu,
“Kenapa kamu naik gunung?”
Maka aku jawab bahwa lewat perjalanan mendaki gunung, aku belajar.
Maka aku jawab bahwa lewat perjalanan mendaki gunung, aku mendewasakan diri.
Maka aku jawab bahwa lewat perjalanan mendaki gunung, aku lebih jatuh cinta pada-Mu, bukan karena puncak dan awan yang menghiasi saja, melainkan juga karena pertolongan-Mu dalam tiap sulit, dalam tiap keputusasaan, dalam tiap tangan yang Kau titipkan untuk membiarkan kami bertahan walau jatuh berulang-ulang.

Semoga, Engkau akan tetap menjadi alasan untuk setiap perjalananku selanjutnya.
Bukan tentang seberapa tinggi dan seberapa sulitnya nanti, melainkan tentang rasa syukur yang terselip pada jiwa ini ketika mengingat-Mu dalam perjalananku.

Maha besar Allah, Tuhan Semesta Alam.



                                                                                               
Read More

Kuliah di Psikologi, Belajar Apa?

Hi, good readers!

Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan informasi buat kamu yang penasaran seputar dunia perkuliahan di jurusan psikologi, seperti  sebenarnya psikologi itu belajar apa, mata kuliahnya apa saja, kemampuan yang dibutuhkan banget itu apa, serta prospek kerja lulusan psikologi. Oya, sebelum mulai ke pembahasan, saya mau ngasih tau dulu nih kalo di setiap universitas bisa jadi berbeda dalam membahas psikologi. Contohnya kalo di UNPAD itu lebih ke psikologi klinis, materi-materi yang berkaitan dengan psikologi klinis lebih menjadi konsentrasi utama (correct me if I’m wrong yaa). Sedangkan kalo di UI, materi-materi psikologi klinis bahkan belum ada di semester satu. UGM juga gitu kalo tidak salah. Biasanya kalau psikologi nya masuk ke rumpun IPA/SAINTEK, maka konsentrasi pembahasan psikologinya lebih ke klinis (contohnya UNPAD dan UNS). 

Nah, untuk pembahasan psikologi kali ini, saya akan menggunakan kurikulum psikologi di UI sebagai acuannya. Tulisan ini juga akan lebih berkonsentrasi pada basic things di tahun pertama kuliah di jurusan psikologi karena saya (juga) baru saja melepas embel-embel freshman menjadi sophomore hehe.

Well, here it is, Belajar apa di Psikologi UI:
Q= Question
A= Answer

Q:  Sebenernya yang jadi pembahasan utama di jurusan psikologi secara umum itu apa?
A: Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus tau dulu nih sebenernya definisi psikologi itu apa. Jadi, psikologi itu adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia.  Contohnya kenapa sih anak-anak kalau di pusat perbelanjaan suka banget nangis dan merengek-rengek ke orang tuanya, kenapa sih kalo tidur kadang aku mimpi kadang engga, kenapa aku kalo belajar suka ga fokus, kenapa sih dulu pasukannya Hitler tega banget ngebunuh banyak banget manusia yang ga bersalah. Nah, kita bakal mengupas kenapa hal-hal itu bisa terjadi  dengan metode-metode ilmiah, jadi bukan berdasarkan pendapat atau karangan aja. Ibaratnya kalo mahsiswa jurusan kimia melakukan praktikum pake cairan-cairan di lab, mahasiswa psikologi melakukan penelitian dengan manusia sebagai subjek penelitiannya di lapangan.

Q: Jadi bakal banyak penelitian kalo kuliah di jurusan psikologi ya?
A: Iya, apalagi nanti kalau udah melewati tahun pertama, bakal banyak penelitian dan eksperimen. Tapi kalau masih tahun pertama, penelitiannya baru satu dua kok.

Q: Terus kalo di tahun pertama masih jarang penelitian,  kuliahnya ngapain aja  dong?
A: Tahun pertama kita belajar basic-nya psikologi untuk tiga tahun setelahnya. Kita diajarin dan dibiaskan dulu mengenal jurnal-jurnal internasional, cara-cara penulisan ilmiah yang berkiblat pada APA (American Psychological Association) seperti cara sitasi dan nulis reference yang benar, dan sedikit materi-materi dasar psikologi juga statistik.

Q:  kok belajar nulis sitasi sama reference lagi kaya SMA? Ga asik dong? Terus kok itu ada statistik? Emang di psikologi ada matematika?
A: Yang ini beda kok, lebih menantang daripada SMA karena yang jadi dasar penulisan juga beda hehe. Asik kok! Iya, sampe akhir kuliah juga bersentuhan dengan hitung-hitungan dan ada matematika. Jadi kalau masuk psikologi jangan berniat untuk melepaskan diri dari matematika yaa.

Q: Kalo materi kuliah yang lain ada hapalannya gaa?
A: Hapalan jadi makanan sehari-hari kok. Di tahun pertama kita juga udah dicekokin dengan hapalan-hapalan. Tapi jangan khawatir, kamu pasti bisa! 

Q: Bakal ketemu sejarah juga kah di psikologi?
A: Bakal! Hehe Tapi bukan sejarah Indonesia kok. Sejarahnya itu sejarah psikologi dari zaman Sebelum Socrates, Aristotle, Plato sampai modern psychology. Sejarah ini lebih banyak bahas tentang psikologi di Amerika dan Inggris karena dari situlah psikologi muncul.

Q: Katanya ada biologinya juga ya di psikologi?
A: YUUUP! Di semester dua ada mata kuliah Sistem Saraf dan Tingkah Laku (SSTL). Matkul ini banyak biologinya soalnya bahas tentang hubungan tingkah laku dengan otak, saraf, dan kawan-kawannya. Semacam neuroscience gitu. Asik banget dan belajar banyak banget tentang kasus-kasus neuroscience yang ada di Amerika sama Inggris!  Ini mata kuliah kesukaan saya.

Q: Kompleks yaa, ada IPA nya ada IPSnya. Terus kemampuan yang dibutuhkan untuk bisa survive apa?
A: Yang paling penting kemampuan untuk punya KEMAUAN. Sisanya paling bahasa inggris, membaca, logika. Kenapa bahasa inggris? Karena buku kuliahnya inggris semua, terus kalo penelitian atau bikin esai jurnalnya juga inggris. Jadi kalo bisa bahasa inggris akan lebih membantu. Membaca ya karena dengan membaca kamu bisa dapet ilmu lebih banyak. Logika bisa digunakan untuk ngebantu ketika hapalan, biar ga terlalu berat. 

Q: Yah, ga bisa bahasa inggris
A: Don’t worry be happy! Itu semua bisa dipelajari, nanti lama-lama akan terbiasa kok. Beneran deh! Terus banyak juga temen-temen dan dosen yang bakal bantu kamu memahami materi. Dosennya kalo jelasin juga pake bahasa Indonesia kok. Semangat!

Q: Psikologi di UI itu IPA atau IPS?
A: IPS. Jadi kalau mau masuk ke sini pakai jalur tes yang SOSHUM.

Q: Yah, aku IPA, ga bisa dong ke psikologi UI?
A: Bisa! Saya juga dari IPA kok. Kalo SIMAK/SBM ambil aja jalur SOSHUM atau kalau kamu kuat ambil IPC. Kalo undangan juga bisa kok ambil psikologi UI walaupun dari IPA. Tapi ada kabar katanya tahun 2016 SNMPTN harus sesuai sama bidang di SMA sih, tapi belum pasti kok itu. Btw teman-teman saya juga banyak yang dari IPA.

Q: Terus prospek kerja lulusan S1 Psikologi apa aja?
A: Banyak! Bisa jadi HRD di perusahaan, bisa kerja di bidang advertisement dan tim kreatif, bisa jadi peneliti, bisa kerja di LSM, bisa juga jadi PNS dan kerja di lembaga pemerintahan (setiap lembaga pasti membuthkan lulusan psikologi kok hehe), kerja di biro psikologi juga bisa dan lain-lain. Tapi lulusan S1 belum bisa jadi psikolog yaa. Kalo mau jadi psikolog harus ambil profesi. Intinya selama ada manusia, ilmu psikologi masih tetap dibutuhkan. 

Q: Okedeh, makasih banyak jawabannya!
A: Sama-sama! Kalau ada yang mau ditanyakan tanya aja yaa!

Read More

Friday 3 July 2015

GIVE AND GET

“Why do we give if we don’t get something?”

That sentence pushed my thought, really. It elicited my curiosity more and more. I took long minutes to define that very question. Only define. So, what was basically the meaning of ‘give’ and ‘get’ to that question? What did ‘something’ mean? Was it big thing or small thing? And stuff like that. Those ‘definition things’ left me with my big conclusion; subjective!
-----
pict from here

Well, it is pretty hard not to involve our own perspective, our subjectivity which will cause any pros and cons related to our idea, in writing. But what you are reading now will drive you to it, to my subjectivity.

Back to the question!  “Why do we give if we don’t get something?”
I will correlate this question to one of psychology theory with behaviorism school of thought. In behaviorism, it is said that people will do something in return of stimulus they get. In simple, stimulus will elicit the response. For example, your little brother who loves candy will cry if you take it. The response is crying and it appears because of the stimulus which is represented by taking candy. The other example is you may study harder and harder in the next term if you get unsatisfied GPA. So, do you see the stimulus and response there? If you can find it, I’m sure it will be easier for you to follow what I write here. When stimulus increases the behavior or response it is called ‘reward’, in contrary, when it decreases behavior it is called ‘punishment’.

Related to behaviorism concept or stimulus and response concept, usually people will give because they have expectation to get something in return. Something in returns becomes the stimulus which elicits giving as the response. It will drive higher intensity (quality or quantity) in giving, so that’s why it becomes a reward. The more we get something in return as reward, the higher our intensity of giving will be. So, why do we (still) give if we don’t get something? Is concept of stimulus and response no longer functional? To answer this question, we have to know the definition of ‘something’ in that question.

 If I assume ‘something’ there as the things which will we get sooner after we give but in this case (related to the main question) we don’t get it, so the question becomes ‘why do we (still) give if we don’t get something sooner after giving?’. So, why does it happen?  The fact that we don’t get something sooner after giving doesn’t decrease probability to get something later (and may be bigger). So it drives people to give even they don’t get something sooner after giving. The example of long term things which will be gained are future belief of being helped later when they’ll be in trouble, or if they do that for the sake of God, they believe there will be something in return which will be given by God later. Reward doesn’t only come sooner but it also comes later. And mostly, the later reward will be more worthy.

 There is another definition of ‘something’ on ‘why do we (still) give if we don’t get something?’ question. If something there means the things we could see, touch, and use or something visible and priceless, so the reason why we still give even don’t get them in return is that despite not getting those priceless things, giving still gives us peace, we feel so happy after giving and the burdens we carry on are faded away. Those feelings can be the reward, but we may not attain to them, so we feel like we get nothing in return of giving.

Through those long sentences, I give my opinion that:
 in some parts of life we feel like we only give, give, and give without receiving something in return. We feel like we care and do too much for people we attain at. It perhaps makes us disappointed and unhappy. But do you know a secret about it? Well, actually they’ve already given us the ‘something in return’ things; the invisible happiness which ONLY can be seen if we see it through another perspective. Moreover, everything also happens for reason, like the concept of behaviorism school of thought that there were no responses without stimulus.
Read More