Catatan ini saya buat karena
lama-lama saya merasa jengah untuk diam dan tidak berbicara dari enam tahun
lalu. Beberapa pihak mungkin menganggap ini adalah hal kecil atau mungkin tidak
bermakna, tapi mari lihat ke sisi lain, sisi yang menganggap hal itu bahkan
sangat bermakna.
Read More
Sore tadi digelar razia kendaraan
bermotor di kampus saya oleh kepolisian dan dibantu beberapa warga kampus.
Seperti biasa, ramai perbincangan sana-sini mengenai razia yang diadakan,
akibatnya polisi pun juga menjadi topik. Apakah hal ini hanya sekali terjadi?
Tidak. Dari enam tahun yang lalu, saya sadar akan adanya kontigensi antara
razia kendaraan bermotor dan polisi. Hal
itu dimungkinkan adanya oknum dari kepolisian yang kadang kala tidak mematuhi
prosedur razia yang telah dirancang kemudian membuat jengkel para pelanggar.
Kejengkelan itu tak hanya berhenti ketika surat-surat mereka kembali, namun
terjadi lagi dan lagi seperti rantai yang menyambung satu sama lain. Berita
yang beredar pun menjadi bahan generalisasi dari banyak pihak yang membentuk
pandagan umum tentang citra buruk polisi. Pertanyaan besarnya adalah: Apakah
semua polisi melakukan hal yang sama sehingga dapat menjadi bahan generalisasi?
Ibaratnya, apakah benar apabila semua muslim digeneralisasikan sebagai teroris
padahal hanya segelintir muslim yang melakukan teror?
Saya adalah seorang anak dari
polisi dan bukan pejabat. Ayah saya hanya menyebrangkan jalan tiap pagi ketika
ramai-ramainya anak berangkat sekolah, menyidik beberapa kasus kecelakaan yang
terjadi, mengawal orang-orang ketika mereka menonton konser atau sekedar
bermalam minggu, membantu mengamankan jalanan yang kacau ketika jam pulang
kerja juga menertibkan keadaan jalanan. Ayah saya hanya membantu orang-orang
sebagai tugasnya menjadi seorang polisi. Itu saja.
Namun, setelah bertambah dewasa,
saya melihat hal yang diterima oleh ayah saya ternyata sangat menyakitkan.
Hinaan dan cercaan untuk polisi sudah banyak didapatkan, termasuk kontigensi
yang sudah saya jelaskan di awal. Selama berbelas tahun ayah saya menjadi
polisi, dia tidak pernah mengeluh pada anak-anak dan istrinya, bahkan beliau
bertingkah seperti tidak mengetahui hal tersebut. Tapi, adalalah hal yang tidak
mungkin apabila ayah saya tidak mengetahuinya, bukan?
Setelah bertambah dewasa, saya sebagai
anak lebih melihat hal yang nyata dan menyakitkan. Suatu pagi ibu saya pernah
bercerita bahwa di sekolah, adik saya yang masih SD pernah di panggil dengan
sebutan ‘anak tukang tilang’ oleh
teman-temannya. Bagimana tidak hancur hati seorang ibu yang bersumaikan polisi
mendengar kabar itu? Sedang saya pun menghadapi teman-teman yang suka berkata ‘polisi lagi razia untuk cari tambahan uang
akhir bulan’, ‘polisi lagi kekurangan
uang jadi ada razia’ merasakan sakit hati. Tapi saya diam. Setelah enam
tahun saya diam namun sadar bahwa itu semua adalah ketidakbenaran yang dianggap
benar oleh sebagian besar kalangan, maka saya tidak tahan lagi untuk diam.
Apakah sehina itu pekerjaan ayah
saya untuk menghidupi saya, adik-adik, dan ibu saya?
Mungkin bagi kalian itu adalah
hal kecil. Tapi bagi kami?
Mungkin bagi kalian itu hanyalah bahan bercandaan.
Tapi apakah bagi kami itu lucu?
Mungkin
dengan menuliskan ini, saya akan dicap sebagai manusia yang baper dan
mementingkan ego sendiri. Tapi saya sudah muak menjadi anak yang dianggap baik namun tega melihat ayah sendiri dikatai. Sampai kapan seorang anak bisa tahan mendengar
orang tunaya dipandang sebelah mata selama enam tahun?
Terkadang hal-hal kecil bisa
menyakitkan hati, termasuk generalisasi. Bahkan Tuhan tidak pernah
mengeneralisasi umat-Nya sebagai pendosa ulung. Lalu, mengapa umat Tuhan malah
melampaui-Nya?
Salam damai, semoga kita semua
tetap dalam kebaikan. Mohon maaf apabila banyak yang tidak berkenan.