"...saya merasa bahwa sebangga-bangganya guru kepada anak didiknya adalah ketika mereka tetap semangat belajar dengan kondisi apapun dan mengeja di atas (m)eja manapun."
Selamat Datang Di Maribaya
sambutan selamat datang dari anak-anak Maribaya |
Tujuh bulan
setelah Januari saya kembali ke sebuah dukuh (bagian yang lebih kecil dari
desa) di daerah Tegal bagian selatan, dukuh Maribaya. Banyak yang berubah,
tentu saja. Banyak yang bertambah, seperti jumlah bayi yang baru lahir, ibu
yang hamil, pasangan suami istri, beberapa rumah yang didirikan, serta
bertambahnya cerita sedih bahagia yang disimpan warganya.
Maribaya
selalu menyimpan ceritanya sendiri. Maribaya selalu menggerakan reaksi
ketidaksetujuan saya pada beberapa hal yang diambil oleh satu dua warganya
seperti tidak melanjutkan sekolah ke SMP atau sederajat (yang biayanya masih
ditanggung pemerintah alias gratis) melainkan memilih menjadi penjual nasi goreng
di luar kota tepat setelah lulus SD (saya tidak mempermasalahkan apa pekerjaan
yang dia ambil, melainkan waktunya. Bagi saya, setelah lulus SD bukan merupakan
jawaban yang tepat. Tapi katanya, dia sudah terlanjur takut dan trauma dengan
sekolah). Maribaya juga menggerakan kesetujuan serta kebahagiaan saya atas
berkembangnya banyak hal baik seperti beberapa anak yang mulai memberanikan
diri melanjutkan sekolah ke SMP terbaik di kecamatannya, serta orang tua yang
mulai menyesali menikahkan anak perempuannya di usia 14 tahun (saat dia sedang
asik-asiknya bermain bersama buku dan pena yang dia idam-idamkan di SMPnya).
Kabar Sekolahku Baik-Baik Saja
Di balik
itu semua, saya ingin menceritakan tentang satu hal yang sangat menarik
perhatian saya.
Di dukuh
Maribaya terdapat satu sekolah dasar, yaitu SD Negeri 2 Rembul. Jarak antara
sekolah dan rumah warga lumayan jauh. SD dikelilingi ladang dan persawahan yang
sangat luas dan berhadapan dengan jalan alternatif antar kota yang tergolong
sepi. Tidak ada bangunan lain selain SD tersebut, sejauh mata memandang, hanya ada
hijaunya ladang dan suara kendaraan yang kadang berlalu-lalang.
kalau lelah berjalan kaki, anak-anak menggunakan kendaraan yang disembut 'ompreng' untuk pulang atau berangkat sekolah |
Selama
Januari saya berada di sana dan tanggal 18 Agustus kemarin, saya beserta tim
dari Gerakan Universitas Indonesia Mengajar, kembali ke Maribaya. Ada yang
kurang ketika kami memasuki dukuh tersebut; tidak ada suara anak kelas 1 dan 2
belajar membaca atau bahkan tertawa. Saya datangi bangunan kecil tersebut dan
yang tersisa hanya bangunan kosong dengan tumpukan pasir di depannya. Kemana
mereka?
Usut punya
usut, kelas 1 dan 2 ternyata dipindahkan di sekolah lama bersama kelas 3 hingga
6, ibaratnya kembali berkumpul bersama keluarga. Ketika saya tanya alasannya, tidak
bertambahnya jumlah murid merupakan jawaban atas pemindahan tersebut. Hanya ada
tujuh peserta didik baru yang mendaftarkan diri di kelas 1 dan itu berarti
pemindahan kelas 1 dan 2 menjadi lebih dekat tidak memberikan dampak apapun.
Saya agak menyayangkan hal tersebut, sayang sekali mereka harus menempuh jarak
yang jauh untuk pergi ke sekolah. Namun di sisi lain, saya sangat bahagia karena
akhirnya mereka bisa berkumpul di sekolah asli mereka dan mencicipi indahnya
lapangan yang ada di sekolah dengan kelas yang agak lebih lebar dibandingkan
bangunan yang lalu, sehingga mereka dapat ikut upacara dan berolah raga di lapangan mereka sendiri.
lapangan SD N 2 Rembul |
Kelas 'Baru', Meja 'Baru'
Saya bergegas menuju ruang kelas 1. Dari jarak beberapa meter sudah terdengar suara anak-anak mengeja huruf dan suara seorang ibu guru yang sabar membantu menyebutkan huruf. Semakin mendekat, saya melihat mereka duduk berkeliling di satu meja besar.
"Wah, sangat menyenangkan duduk berkeliling ketika sedang belajar di kelas, itu memberikan kesan lebih hangat dan rileks dibandingkan ketika duduk dengan posisi formal pada sekolah umumnya," pikir saya.
Ketika saya mengarahkan mata saya pada meja besar yang mereka gunakan, ternyata itu bukan meja belajar, meja berwarna biru yang mereka gunakan adalah meja untuk tenis meja. Ya, itu meja tenis meja yang berubah menjadi meja belajar. Dalam keadaan seperti ini, rasanya apapun memang bisa digunakan untuk belajar.
Entah karena mereka masih kelas satu, atau memang karena mereka nyaman dengan meja itu, tidak ada kata protes yang diucapkan oleh mereka. Proses belajar mengajar tetap berjalan sebagai mana mestinya. Mereka tetap bersemangat untuk belajar mengeja bagaimana pun bentuk mejanya karena akan selalu ada kata eja di setiap (m)eja yang mereka pakai.
Saya hanya pernah menjadi 'guru kelas satu' selama satu bulan dan masih sanagat perlu belajar, belajar, dan belajar. Dalam kasus ini, saya merasa bahwa sebangga-bangganya guru kepada anak didiknya adalah ketika mereka tetap semangat belajar dengan kondisi apapun dan mengeja di atas (m)eja manapun.
Jakarta, 24 Agustus 2016
Bu Uli Yang Ingin Melihat Kalian Tumbuh