Wednesday, 25 July 2012

LIFE

Jam menunjukkan pukul lima sore, entah lebih entah kurang. Sore ini. Cukup mengenaskan, apa yang saya dengar setelah memarkir sepeda di garasi yang tak terlalu lebar. Seperti mendapatkan serangan jantung. 
"Hari ini rapat apa lagi?" tanya ibuku bernada marah.
"Organisasi X, bu.  Mau ngadain BSB, jadi hari ini ada pembagian tugas sama adik kelas juga, kan aku udah izin, bu," jawabku sembari menyopot sepatu.
"Kemarin kamu pulang sore, sekarang pulang sore, dikira pulang sore terus bakal ngasih kamu nilai bagus?" lanjut ibuku dengan sedikit berteriak.
Saya tidak menjawab apapun. Hanya diam. Saya tahu itu retorik, tak perlu suara untuk memperpanjangnya. Sebenarnya, sudah dua minggu ini kedua orangtuaku melarang kegiatan di luar jam pelajaran dan les tambahan kecuali organisasi Z.  Alasannya simpel, karena organisasi Z lah yang tidak memakan energi fisik terlalu banyak, dan energi yang kita pakai akan berhubungan dengan kesehatan. Ya, kesehatan saya akhir-akhir ini sungguh tidak bisa dipertanggung jawabkan. Turun terlampau jauh, dan menimbulkan kerusakan pada sesuatu. Sebenarnya hal ini sering kudapatkan, namun aku tak pernah merasakannya sebagai 'penyakit' hanya pahit dan nyeri biasa. Tapi hal inilah yang membuatnya menjadi bertambah parah, puncaknya minggu ini. Untunglah, minggu ini saya belum mengikuti puasa ramadhan, jadi masih ada waktu untuk penyesuaian kondisi terlebih dahulu. 

Seperti biasa, setelah sekian jam menyibukkan diri di rumah kedua (re: sekolah) dan kembali ke rumah utama, pastilah kamar yang saya tuju pertama kali. Entah karena lelah, atau mungkin karena sudah terbiasa. Kamar adalah surga dari rumah utamaku, bukan karena ada kasur, melainkan di tempat itulah saya bisa benar-benar menjadi saya. Selain itu, kamar juga lah yang memberikan kenyamanan instan  bila saya sedang berada di tengah kepenatan dan kelabilan yang mungkin membingungkan, dan di kamar pula lah saya menemukan hobi menulisku dan juga inspirasiku.

Terlepas dari pembahasan kamar, saya baru sadar bahwa bapak belum pulang padahal waktu telah menunjukkan pukul setengah enam sore, hampir berbuka puasa. Tidak seperti biasanya pada bulan ramadhan. 

"Bu, bapak belum pulang?" tanyaku membuka percakapan senja ini sembari membantu beliau membuatkan teh untuk berbuka.
"Belum, sedang tenis," jawab ibuku singkat.
Bapakku memang hobi tenis sejak beliau bekerja sebagai polisi, dan tenis pula yang membuat bapakku sering pergi ke luar kota. Beliau hebat.

"Kalau saran ibu, kamu nggak usah ngepeng organisasinya. Jangan pulang sore terus! Kamu kan tahu kalau kamu udah kelas 2, harusnya kamu inget sama SNMPTN undangan. Apa kamu nggak kasihan sama ibu sama bapak yang udah bayar les mahal-mahal?" bahas ibuku.
 "Ya kasihan, kan aku belum pernah bolos les di kelas dua ini, bu," belaku.
"Ya pokoknya ibu cuma ngingetin aja, apa yang kamu lakuin sekarang bakal ngaruh sama masa depanmu."
Suara motor bapakku terdengar memasuki teras. Saya hafal. Bapak pulang, dan ibuku belum berhenti menasihatiku tentang kesibukanku. Sebenarnya, bila kau tahu bagaimana sifat bapakku, beliau adalah orang yang sangat tegas, maklumlah dari keluarga militer. Tidak hanya tegas, beliau sangat galak. Mungkin berbeda dengan bapak kalian di rumah. Kekerasan hati? Sering. Fisik? Pernah. Namun, seiring berjalannya waktu, bapakku jarang melakukannya padaku lagi, hanya saja apa yang beliau katakan sangatlah menusuk. Dan mungkin itu yang beliau turunkan padaku. Tapi, bapakku hebat. Beliau adalah seorang polisi sekaligus bapak yang loyal dalam hal positif. Bila saya minta belikan baju, buku, novel, tas dan lain-lain, beliaulah yang loyal memberikan alat pembayarannya, asal beliau dalam kondisi good mood.

 Bapakku bergabung bersama saya dan ibu di dapur.  Ikut bercampur padu pada percakapan semi serius kami. Ketika bapak bergabung, percakapan berubah menjadi pembuangan pada kata semi, ini serius. Semua larangan adalah larangan dan bapakku melarangku......................