25 Juli 2015
“Kenapa kamu
naik gunung?”
Pertanyaan
itu muncul lagi sewaktu kaki ini menapak di ketinggian 3142 mdpl.
“Kenapa kamu
naik gunung?”
Pertanyaan
itu muncul lagi sewaktu tangan ini masih menggerakan bendera merah putih yang
ada di tempat yang sama.
“Kenapa kamu
naik gunung?”
Pertanyaan
itu muncul lagi sewaktu mata ini menatap lurus ke arah langit yang seolah lebih
dekat dibandingkan biasanya.
“Kenapa kamu
naik gunung?”
Dan sekali
lagi pertanyaan itu muncul sewaktu jiwa ini sedang terengkuh oleh Merbabu.
------
Desember, 2014
Pelantikan Gandewa (Pecinta Alam Fakultas
Psikologi)
“Kenapa kamu
naik gunung?”
“Aku…pengin
lihat awan di ketinggian. Waktu SMA ga dibolehin ikut pecinta alam juga. Ya,
ambisi masa muda, pengin lihat ciptaan Tuhan lebih dekat. Penasaran. Semoga ini
jadi hobi.”
Jawaban paling
jujur saat itu, menggantungkan angan pada Tuhan agar sempat dekat dengan gunung yang kelak akan dipijak.
Semoga,
Tuhan.
------
25 Juli 2015
Dan jiwa ini
sedang terengkuh oleh Merbabu, yang puncaknya memberikan pelajaran bahwa hidup
bukan sekedar ambisi dan rasa penasaran pada awan-awan yang mengelilinginya.
Nyatanya, awan itu akan tetap menyelimuti merbabu dengan dan tanpa kaki-kaki
yang berlelah-lelah mengejar puncak.
Kemudian aku
sadar bahwa puncak, awan, ambisi, dan rasa penasaran bukan alasanku menggapai
puncak-puncak gunung, berlelah-lelah mendaki, dan menyerahkan diri pada
dinginnya angin kala malam. Itu bukan alasanku
berkali-kali meninggalkan kota dengan gemerlapnya demi beberapa paku
bumi ciptaan Tuhan.
Di
perjalanan mencapai puncak ke tiga ini, Tuhan membisikanku lewat angin Merbabu,
lewat teman-teman satu perjalananku, lewat jalur Wekas yang membiarkan kaki ini
tetap bergerak naik pada jalanan yang menanjak dan terjal. Tuhan merangkul
jiwaku yang merindukan kelandaian pada tiap tanah yang kupijak. Dan kemudian,
Tuhan mengizinkanku berada di puncak Merbabu.
Lalu aku
melihat Merapi, tepat berada di depanku, berdiri tegap dan gagah, seolah
berkata bahwa dia tak kalah tegap dengan Merbabu yang aku pijak saat ini.
Kemudian aku melihat Merapi, walau berdiri tegap, tetap merunduk khidmat pada Sang
Maha Pencipta. Senyap dan khidmat.
Maha Besar
Allah, Tuhan Semesta Alam.
-----
Tuhan dan
Merbabu,
Bahwa untuk
sampai pada titik setinggi ini, bahwa untuk menahan emosi, bahwa untuk menyebut
nama-Mu dalam tiap ketakutan yang mendesir juga ketakjuban pada ciptaan-Mu,
bahwa untuk menyimpan memori tentang kuasa-Mu, bahwa untuk memastikan bahwa
segumpal darah dalam diri ini baik-baik saja selama perjalanan Merbabu, masih
harus banyak belajar.
Lalu,
“Kenapa kamu
naik gunung?”
Maka aku
jawab bahwa lewat perjalanan mendaki gunung, aku belajar.
Maka aku
jawab bahwa lewat perjalanan mendaki gunung, aku mendewasakan diri.
Maka aku
jawab bahwa lewat perjalanan mendaki gunung, aku lebih jatuh cinta pada-Mu,
bukan karena puncak dan awan yang menghiasi saja, melainkan juga karena
pertolongan-Mu dalam tiap sulit, dalam tiap keputusasaan, dalam tiap tangan
yang Kau titipkan untuk membiarkan kami bertahan walau jatuh berulang-ulang.
Semoga, Engkau
akan tetap menjadi alasan untuk setiap perjalananku selanjutnya.
Bukan
tentang seberapa tinggi dan seberapa sulitnya nanti, melainkan tentang rasa
syukur yang terselip pada jiwa ini ketika mengingat-Mu dalam perjalananku.
Maha besar
Allah, Tuhan Semesta Alam.