"Suratku itu lukisan luka di hati, jangan kau hempas, meski tak ingin kau sentuh. Ku...."
Ku matikan radio. Di luar gerimis dan mendung, pertanda bahwa harusnya aku tak pergi. Tapi aku sudah terlanjur terbelit janji, tidak baik juga melakukan penundaan terlalu lama hanya karena gerimis. Aku bergegas ke luar rumah tanpa payung. Jalanan sepi, mungkin karena mendung dan dingin. Sejauh ini aku sangat menyukai jalan yang sepi, tidak ada asap dan itu bagus. Apalagi bila hujan telah mengguyur, aroma air hujan sangat menyegarkan.
Ku tapaki trotoar dengan langkah panjang, aku tidak mau terlambat tapi aku juga tak mau terburu-buru, takut bila amplop ini jatuh lalu basah. Maka dari itu ku panjangkan langkahku, teripikir itu lebih efektif untuk dilakukan dan aman untuk amplopku. Gerimis perlahan berubah menjadi hujan, terpikir untuk kembali ke rumah agar dapat berteduh, namun sudah terlalu jauh melangkah. Pandanganku tertuju pada sebuah halte bus, aku berlari sambil memeluk amplopku.
Hanya sendiri duduk di halte bus, seperti orang ling lung yang pikun tentang alamat rumah. Bolak-balik ku lihat jarum jam tanganku bergerak, sudah cukup lama ternyata, dan hujan belum reda. Harapanku agar hujan reda tetap menggebu, tapi tertelan habis oleh kondisi yang ada. Ku keluarkan ponsel dari saku jaketku, sudah ada satu pesan darinya.
"Sudah datang?"
Kutekan tombol pada ponselku, kemudian membentuk sebuah kalimat .
"Maaf, aku sedikit terlambat, hujan deras, sekarang aku sedang berteduh di halte."
Dia menjawab dengan sangat singkat. "Yasudah, berteduh saja."
Aku membaca kalimat singkat itu dengan rasa kesal. Apakah dia sudah gila membiarkanku menunggu hujan reda di halte berjam-jam begini? Sama sekali tidak peduli. Aku tak balas pesan terakhirnya itu karena bila aku membalasnya dia pasti akan membalas dengan pesan yang lebih singkat. Lagi-lagi kulirik jarum pada jam tanganku, sudah lama sekali aku berada di halte ini. Ku periksa amplop yang dari tadi ku jaga. Masih baik luarnya, dan aku tak mungkin periksa bagian dalamnya karena sudah tertempel dengan kuat.
Ponselku getar, ada pesan darinya. "Memangnya kau mau apa bertemu denganku di lapangan?"
Aku menjawabnya dalam pesan sangat pendek. "Penting sekali."
Dia menjawab pesanku. "Sepenting apa dengan kelulusanku besok?"
Aku diam. Tidak tahu harus membalas apa, kata-katanya terhujam terlalu dalam. Ku masukkan kembali ponselku dalam saku, ku lirik amplop dan aku berdiri, lalu pergi. Amplop yang ku jaga sedari tadi kutinggalkan di tempat duduk halte. Aku menyesal tadi tak pulang saja.
Hujan yang deras melunturkan tekadku yang awal, yang kuat. Pesan itu membuyarkan tujuanku datang menemuinya, dan pesan itu juga yang membuatku menembus hujan sederas ini dan meninggalkan amplop itu di halte tadi. Suhu udara entah mencapai berapa derajat, tapi aku merasa sangat dingin. Tidak ada kendaraan umum yang lewat, jalanan sepi. Ini berarti aku harus pulang dengan berjalan kaki. Yasudah. Semoga tak ada apapun yang membahayakan.
Ku biarkan kakiku melangkah entah sampai mana, biar mengalir bersama firasatku saja. Biar juga mengalir dengan imajinasiku yang membuatku mendengar namaku disebut. Biar saja kakiku mengikutinya. Lama kelamaan suara imajiner yang memanggil namaku bertambah keras dan semakin keras dan mungkin aku terlalu linglung hingga mengimajinasikannya. Tapi suara itu seperti nyata dan seseorang menepukku dari belakang. Aku berbalik dan,"Ka..."
**to be continued**
No comments:
Post a Comment